Yelna's Hope

This website is a valuable resource that presents a wealth of professional experience and the unique point of view of Yelna Yuristiary. Yelna generously shares her insights, knowledge, and expertise, with the hope that readers can use the information to enhance their own understanding, make informed decisions, and achieve their goals.

Tuesday, April 22, 2014

Gara-Gara Mayudin, Si Ketua Otoriter



Angin malam berhembus dari sela dedaunan rimbun samping halte asrama UI. Aku masih duduk menunggu bikun yang kelak akan mengantarkanku ke Fakultas Teknik. Tidak banyak orang di halte ini, hanya cukup untuk membentuk satu tim voli saja. Dua pria termasuk aku, satu ibu-ibu beserta suaminya dan dua mahasiswi yang tertawa berisik sambil bercanda dengan temannya. Kuhela nafas berat, sedikit kecewa karena bikun yang kutunggu masih belum terlihat tanda-tanda keberangkatannya. Bapak sopir yang bertugas mengendarai pun seolah hanyut bersama alunan lagu dangdut yang menemani mereka, lengkap dengan sekuteng hangat di malam-malam yang dingin seperti ini.
Tak lama ponselku bergetar,
“Halo”, kusapa datar orang di seberang sana.
“Tin, sudah dimana? Jangan lupa bawa kertas milimeter block ya”, Mayudin, si ketua kelompok otoriter itu mulai beraksi.
“Di halte asrama. Iya”. KLIK.
Bergegas aku kembali ke dalam pagar asrama, menuju kantin. Membeli milimeter block, terpaksa setuju menjadi jongos Mayudin untuk sementara waktu. Saat itu pukul 06.00 malam, sesudah magrib, ketenanganku terusik saat Mayudin mengirimkan sms seenaknya,
Dear kelompok 5, malam ini kita mulai membuat pemetaan di kantin teknik lantai 2. Kumpul di gazebo jam 8. Tidak datang berarti nama kalian siap untuk diputihkan.
Entah sejak kapan Mayudin kami percaya untuk menjadi ketua kelompok. Namun, jika dipikir lagi, kenyataan ini memang berawal dari sikap kami yang acuh terhadap tugas Bu Yanti. Tak ayal lagi, si Mayudin yang suka cari perhatian kepada beliau dipilih menjadi penanggung jawab kelompok 5, kelompok kami.
Buum... Buum... Deru mesin bikun memanggilku agar mempercepat transaksi jual beli milimeter block. Kumasukkan kertas itu ke dalam tas kuning transparan yang berisi penggaris siku dan pensil mekanik. Aku ambil kembalian dari Mas Dudi secepat kilat dan berlari menuju bikun yang tengah berjalan lambat, seolah menunggu seseorang. Jarakku tidak jauh dari pintu belakang bikun. Namun sepertinya deru mesinnya tidak dapat dihentikan. Pak sopir dari bikun ini pun terlihat tidak melihat atau pura-pura tidak memerhatikan bahwa masih ada penumpang yang ingin naik ke bikunnya.
Tertatih aku melangkah, berharap bikun yang penuh itu berhenti dan sekedar membuka pintu belakangnya barang semenit. Tapi ternyata jauh arang dari api, bikun tetap melaju meninggalkanku yang sudah mulai kelelahan berlari-lari kecil hingga sampai di depan warung Mang Engking. Kutatap bagian belakang bikun itu, sepertinya hanya satu dua orang yang masuk ke dalamnya. Sayang sekali, pikirku.
Kubalikkan badan kembali menuju halte asrama. Kelima orang yang sebelumnya menjadi temanku menunggu bikun kini telah pergi. Halte asrama telah kosong, yang tersisa hanyalah tempat duduk beton yang dilapisi keramik berwarna kuning dengan tempelan selebaran di bagian dindingnya. Seminar Hari Air, Job Fair, Mentoring Ikhwan, Lomba Kreasi Puisi FIB, Lowongan Mengajar, dan masih banyak yang lainnya. Lampu remang yang tertanam di langit-langit atap halte kini telah dikelilingi laron yang terbius dengan cahaya, meskipun itu sepercik.
Dengan langkah gontai aku menaiki trotoar dan kembali duduk di tengah halte. Sengaja memilih posisi di tengah, duduk, menyandar. Kesal dengan Mayudin yang telah menyebabkan aku harus berbalik ke kantin asrama lagi dan tertinggal bikun. Sendal jepit yang kukenakan kini terasa sedikit hangat karena dibawa berlari mengejar bikun tadi. Kulepas, kuangkat kakiku dan bersila di atas bangku halte, berharap bebas dari suntikan-suntikan serangga kecil yang tak beradab, nyamuk. Masih 15 menit lagi hingga bikun selanjutnya jalan. Akupun menguap.
Rasanya sudah lama aku menunggu bikun di halte ini, namun lagi-lagi tanda keberangkatan tak kunjung datang. Anehnya dari tadi hingga sekarang tidak ada anak asrama yang hendak keluar, ke UI. Halte yang sebelumnya ramai pun mulai terasa sepi, tidak ada tawa kedua gadis yang tadi. Tak ada juga obrolan sepasang ibu dan bapak yang sepertinya hendak akan makan di luar. Kulirik jam tangan Q&Q pemberian mama tiga bulan yang lalu, sudah 08.14, pikirku.
Tinggal satu menit lagi hingga bikun selanjutnya datang dan mengantarkanku ke Fakultas Teknik, bertemu kelompok 5, bertemu ketua yang otoriter. Semoga saja Mayudin tidak lagi memintaku membelikan ini itu di menit-menit seperti ini. Tanpa menunggu lama, sorot lampu bikun memecah gulita yang ada di sekitar halte. Deru mesin pun mulai bergemuruh memberi harapan bahwa sebentar lagi aku akan berangkat. Pak sopir yang tadinya duduk-duduk di balai tongkrongan pun bergegas menyeruput kopi yang entah masih panas atau sudah dingin karena tercampur angin malam yang mampu membuat alam sekelilingnya beku. Pak Karto, melangkah cepat ke arah bikun, ambil kendali dan menutup pintu bikun.
Buum... Buum... Mesin bikun kembali menderu, namun kali ini deruannya sedikit lebih bersahabat. Memberi instruksi kepada kita untuk masuk. Bikun dengan simbol merah yang menandakan bahwa terlebih dahulu akan melewati Fakultas Hukum berhenti tepat di depan halte asrama, membukakan pintu dan akupun masuk. Melangkah, riang.
“Terimakasih, Pak”, lirihku kepada Pak Karto.
Aku duduk tepat di belakang Pak Karto. Tempat yang strategis untuk cepat keluar dari bikun serta mengetahui siapa saja orang yang akan naik bikun. Siapa tahu nanti aku akan bertemu Kiki, Gilang dan Raden, temanku di kelompok 5. Tidak ada orang lain selain aku yang naik ke bikun ini. Entah karena ini malam Jumat malam, waktunya orang-orang pulang ke rumah masing-masing atau karena waktu sudah menunjukkan jam 8 malam. Waktu yang cocok bagi setiap orang untuk tetap berada di kamar, mengerjakan tugas, menonton drama Korea, bernyanyi-nyanyi sendiri atau sekedar tidur cepat untuk mempersiapkan energi untuk esok hari. Energi untuk jalan-jalan di akhir pekan. Sedangkah aku, kembali harus ke kampus, menyelesaikan tugas besar dengan si ketua otoriter, Mayudin.
Bikun melaju kencang hingga tiba di halte Gerbatama. Di halte ini tidak banyak yang masuk. Seorang ibu dan anaknya serta seorang gadis dengan rambut panjang sebahu. Dalam keremangan lampu bikun kulirik wajah gadis tinggi semampai ini. Mukanya terlihat mulus, namun sedikit menunduk. Mungkin karena lagi malas untuk kembali ke kampus juga, pikirku.
Pak Karto kembali memacu bikunnya. Saat ini bikun yang hampir kosong melompong ini melewati kawasan UIwood. Kawasan yang cukup horor di dalam situs-situs horor kampus seantero Indonesia. Konon di dalam salah satu situs yang pernah aku baca, kawasan ini dipenuhi dengan mahluk-mahluk yang tidak kasat mata. Jika membayangkankan, entah mengapa bulu kudukku bergidik sendiri. Ah... Sudahlah, pikirku.
Tiba-tiba dari arah pagar pembatas jalan, seorang kakek tua melompati pagar. Entah dari mana ia berasal, baju koko putih, sarung lusuh dan peci hitam. Celingak celinguk di jalan dan tiba-tiba berlari ke depan bikun yang tengah melaju kencang. Tak ayal lagi Pak Karto terkejut setengah mati. Niat hati ingin mengerem, entah kenapa jadinya malah tambah menginjak pedal gas. Bruuk... Kakek itu terlindas ban bikun. Sempat kurasakan ban bikun melindas tulang atau apapun dari bagian tubuh kakek itu. Rasanya seperti lewat di jalan berbatu. Kulihat wajah Pak Karto pucat pasi. Tangannya gemetar. Suasana bikun hening, serasa aura kehidupan tidak lagi ada di dalam bikun ber-AC ini. Aku lirik ibu dan anak yang berada tidak jauh dariku tadi, mereka hanya memandangiku. Entah apa arti tatapannya, sekilas terlihat senyum sinis di wajah sang ibu. Mukanya pun terlihat putih sekali, menyeramkan. Kulirik gadis dengan rambut sebahu yang dari tadi menunduk, perlahan ia menegakkan kepalanya. Aku terkesiap. Ternyata wajahnya tidak secantik yang aku bayangkan. Penuh bopeng dan darah segar mengalir dari sudut-sudut bibirnya.
“Yan... Yanda...”, si gadis memanggil namaku.
Seketika aku terkesiap, mengucek-ngucek mata yang semakin aku kucek terlihat semakin buram. Cahaya di sini tidak lagi seburam cahaya bikun yang tadi. Pandanganku menyapu setiap hal yang ada di dekatku. Meja belajar yang apik dengan susunan buku mekanika, kipas angin, lemari kayu, jemuran baju, tempelan tim bola kesayanganku dan jam dinding dengan merk bank lokal ternama. Di sebelahku kini ada Farid, memanggil sambil bermain DOTA di laptopnya. Kulirik jam dinding dengan merk bank itu, pukul 08.10 malam. Sudahlah. Aku izin tidak bertemu Mayudin, si ketua otoriter itu dulu. Tak perlu keluar dulu malam ini, pikirku.

Keterangan:
Bikun: bis kuning yang merupakan alat transportasi khusus wilayah Kampus UI.

3 comments:

  1. Yeee, mau ngebahas ini jadinya hahahaha tapi ga mau lewat komen di sini :D

    ReplyDelete
  2. boleh ben... kapan ya kita ketemu lagi.. awuwuwu...

    ReplyDelete
  3. iya nih, nagih banget ya bahas kaya gini. jadi pengen bikin lagi yg baru hahaha biar bisa saling bahas :D

    ReplyDelete

Entri Populer