Monday, November 19, 2018

Contoh Laporan Daktilitas Bahan-Bahan Bitumen (PA – 0306 – 76) (AASHTO T – 51 – 81) (ASTM D – 113 – 79)


DAKTILITAS BAHAN-BAHAN BITUMEN
(PA – 0306 – 76)
(AASHTO T – 51 – 81)
(ASTM D – 113 – 79)


I.                  MAKSUD PERCOBAAN
Pemeriksaan “Daktilitas Bahan-Bahan Bitumen” dimaksudkan untuk mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara cetakan yang berisi bitumen keras sebelum putus, pada suhu dan kecepatan tarik tertentu.

II.                  PERALATAN
a.       Cetakan daktilitas kuningan.
b.      Termometer.
c.       Bak perendam isi 10 liter yang dapat menjaga suhu tertentu selama pengujian dengan ketelitian 0,1C dan benda uji dapat direndam sekurang-kurangnya 10 cm, di bawah permukaan air. Bak tersebut diperlengkapi dengan pelat dasar yang berlubang diletakkan 5 cm dari dasar bak perendam untuk meletakkan benda uji.
d.      Mesin uji dengan ketentuan sebagai berikut :
a)      Dapat menarik benda uji
b)      Dapat menjaga benda uji tetap terendam dan tidak menimbulkan getaran selama pemeriksaan
e)      Methyl Alkohol Teknik dan Sodium Klorida Teknik (jika diperlukan).

III.                  BENDA UJI
a.       Melapisi semua bagian dalam cetakan daktilitas dan bagian atas pelat dasar dengan campuran glycerin dan talk.
b.      Memanaskan contoh aspal kira-kira 100 gram sehingga cair dan dapat dituang. Melakukan pemanasan dengan hati-hati. Pemanasan dilakukan dengan rentang suhu antara 80C sampai 100C (diatas titik lembek). Kemudian contoh disaring dengan saringan nomor 50 dan setelah diaduk, dituangkan dalam cetakan.
c.       Pada waktu mengisi, contoh dituangkan hati-hati dari ujung ke ujung hingga penuh berlebihan.
d.      Mendinginkan cetakan pada suhu ruang selama 30 sampai 40 menit lalu pindahkan seluruhnya ke dalam bak perendam yang telah disiapkan pada suhu pemeriksaan (sesuai dengan spesifikasi) selama 30 menit, kemudian ratakan contoh yang berkelebihan dengan pisau atau spatula yang panas sehingga cetakan terisi penuh dan rata.

IV.                  PROSEDUR
a.       Benda uji didiamkan pada suhu 25C dalam bak perendam selama 85 sampai 95 menit, kemudian melepaskan benda uji dari pelat dasar dan sisi-sisi cetakannya.
b.      Memasang benda uji pada alat mesin uji dan menarik benda uji secara teratur dengan kecepatan 5 cm/menit, sampai benda uji putus. Perbedaan kecepatan lebih kurang 5% masih diizinkan. Membaca jarak antara pemegang cetakan, pada saat benda uji putus (dalam cm). Selama percobaan berlangsung benda uji selalu terendam sekurang-kurangnya 2,5 cm di bawah permukaan air dan suhu dipertahankan tetap (250,5)C.

V.                  DATA PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA
Data Pengamatan
Dari hasil percobaan diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Data Hasil Praktikum
Waktu (menit)
Jarak (cm)
1
4,4
2
9,5
3
14,4
4
19,4
5
24,4
6
29,6
7
34,6
8
39,2
9
44
10
49,2
11
54,2
12
59,4
13
64,6
14
69,6
15
74,8
16
80
17
85,1
18
90,4
19
95,6
20
101

Pengolahan Data
Tabel 2. Pengolahan Data Daktilitas
Waktu (menit)
Jarak (cm)
Selisih panjang (cm)
1
4.4
0
2
9.5
5.1
3
14.4
4.9
4
19.4
5
5
24.4
5
6
29.6
5.2
7
34.6
5
8
39.2
4.6
9
44
4.8
10
49.2
5.2
11
54.2
5
12
59.4
5.2
13
64.6
5.2
14
69.6
5
15
74.8
5.2
16
80
5.2
17
85.1
5.1
18
90.4
5.3
19
95.6
5.2
20
101
5.4
Jumlah
96.6
Rata-rata
5.084211



VI.                  ANALISA
a)      Analisa Percobaan
Percobaan yang berjudul Daktilitas Bahan-Bahan Bitumen biasanya dilakukan dengan maksud untuk mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara cetakan yang berisi bitumen keras sebelum putus. Dalam percobaan ini, hal yang pertama dilakukan adalah memanaskan benda uji (aspal) sampai cair. Setelah mencair, benda uji kemudian dimasukkan ke dalam cetakan  yang sebelumnya telah diolesi dengan glycerin dan talk. Hal ini dilakukan agar benda uji tidak rusak/melekat di cetakan ketika dilepaskan dari cetakan. Proses penuangan benda uji cair dilaksanakan secara cermat dan hati-hati agar benda uji yang ada di cetakan penuh sempurna. Setelah benda uji dimasukkan, praktikan menunggu 30-40 menit agar benda uji tercetak sempurna dan cukup padat. Setelah benda uji tercetak, benda uji yang telah cukup padat dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air. Air yang ada di dalam wadah dikondisikan sedemikian rupa dengan menggunakan es batu agar suhunya tetap 25C (suhu ruangan).
Perendaman benda uji di dalam air dilakukan selama 85 hingga 95 menit. Namun pada percobaan ini praktikan hanya melakukan perendaman selama 30 menit karena benda uji yang akan dicoba adalah aspal yang sudah dingin (bukan hot mix). Kemudian, setelah 30 menit praktikan memindahkan wadah perendam ke dekat alat uji daktilitas agar suhu benda uji (suhu kamar) tidak berubah ketika dipasangkan dengan alat uji daktilitas.
Pengujian daktilitas dibantu oleh laboran yang memasang dan menghidupkan alat. Proses pengujian dilakukan dengan kecepatan penarikan benda uji sebesar 5 cm/menit. Praktikan membaca kenaikan jarak antara pemegang cetakan dan memerhatikan kapan benda uji akan putus. Pembacaan dilakukan setiap satu menit sekali. Namun, ketika sudah menit ke-20, benda uji masih saja belum putus padahal jarak antara pemegang sudah mencapai 100 cm sehingga proses penarikan dihentikan. Perlu diingat bahwa selama percobaan berlangsung benda uji senantiasa terendam sekurang-kurangnya 2,5 cm di air dan suhu tetap dipertahankan tetap (250,5)C. Perendaman benda uji ketika ditarik dilakukan agar benda uji tidak terkena lantai alat daktilitas sehingga menyebabkan gesekan dan memengaruhi hasil penarikan benda uji.




b)     Analisa Hasil
Pengujian daktilitas merupakan salah satu jenis uji material yang akan digunakan dalam proses perkerasan jalan. Dalam praktikum ini, benda yang diuji daktilitasnya adalah aspal. Pengujian dilakukan dengan menarik benda uji di mesin daktilitas dengan kecepatan 5 cm/menit. Dari percobaan ini diperoleh hasil pertambahan panjang benda uji per-menit dimana hingga menit ke-20 benda uji masih belum putus. Dari tabel 2 terlihat bahwa perpanjangan benda uji terjadi hampir linier dengan rata-rata penambahan panjang sebesar 5,08 cm. Sehingga berdasarkan tabel standar aspal Bina Marga tahun 1983 disimpulkan bahwa aspal bermutu baik (dalam hal ini jenis aspal adalah pen 60/70). Setelah menit ke-20, panjang benda uji yang ditarik sudah mencapai 101 cm dan percobaan dihentikan.
Aspal dengan daktilitas yang baik maka aspal lebih fleksibel dan baik digunakan untuk di lapangan. Dengan standar penarikan yaitu 5 cm/menit dan hasil rata-rata penarikan yaitu 5,08 cm/menit dapat disimpulkan aspal memiliki mutu yang baik. Berikut adalah standar pemeriksaan aspal berdasarkan Bina Marga tahun 1983.


c)      Analisa Kesalahan
Kesalahan yang terjadi dalam percobaan ini diperkirakan sebagai berikut :
a. Suhu saat perendaman tidak tepat pada angka 25C sehingga sifat daktilitas benda uji terpengaruh oleh suhu di bawah suhu ruangan atau di atas suhu ruangan.
b.Kesalahan pembacaan pertambahan panjang benda uji pada alat daktilitas sehingga angka yang diperoleh tidak akurat.
c. Kurang akuratnya waktu pembacaan sehingga terjadi keterlambatan atau percepatan membaca angka pertambahan panjang benda uji.
Dari beberapa kesalahan di atas dapat menyebabkan ketidakakuratan hasil yang diperoleh dan kesalahan kesimpulan mutu dari benda uji.

VII.                  KESIMPULAN
Dari percobaan daktilitas bahan bitumen ini diketahui beberapa hal yaitu :
a. Kemampuan tarik dari bahan-bahan bitumen pada kondisi tertentu.
b.Mutu dari benda uji.
c. Benda uji memiliki mutu yang baik karena tidak putus walaupun sudah mencapai panjang lebih dari 100 cm.



REFERENSI :
·         Pedoman Praktikum Pemeriksaan Bahan Perkerasan Jalan. 2012. Laboratorium Struktur dan Material Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia.

Sejarah Pembangunan Jalan di Indonesia


ABSTRAK

Percepatan pembangunan didukung oleh infrastruktur yang memadai. Salah satu infrastruktur fisik yang memengaruhi percepatan permbangunan di sebuah negara adalah jalan. Proses pembangunan jalan sebagai sarana pelengkap kebutuhan manusia akan transportasi dimulai sejak akhir abad 18 tepatnya ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Pembangunan jalan dengan perkerasan yang pertama kali ini ternyata menjadikan negara kita terus memperbaharui sistem pembangunan jalannya. Saat ini, di wilayah Indonesia yang luasnya mencapai 5.193.252 km2 telah dibangun sejumlah jalan yang sangat memudahkan masyarakat untuk berpindah atau memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dengan adanya proses pembangunan jalan yang dimulai dengan sejarah jalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat karena kebutuhan transportasi terpenuhi. Sejarah pembangunan jalan secara simultan mengalami perkembangan. Berbagai metode seperti Telford dan Makadam pun dikenalkan di Indonesia dan mulai menjadi acuan dalam proses perkerasan jalan. Kombinasi dari dua metode ini juga sering digunakan dalam tahap perkerasan jalan. Secara umum, pemilihan metode perkerasan disesuaikan dengan kondisi tanah sebagai pondasi jalan serta beberapa parameter lainnya.

Keywords
Kebutuhan, Transportasi, Metode Telford-Makadam, Infrastruktur


1. PENDAHULUAN

Infrastruktur merupakan modal yang sangat memengaruhi perkembangan suatu negara di era globalisasi ini. Listrik, telekomunikasi, dan jalan merupakan beberapa infrastruktur fisik penting yang harus dibangun dan dikembangkan oleh suatu Negara untuk dapat bersaing dengan Negara lainnya. Wilayah Indonesia sangat luas, hingga mencapai 5.193.252 km2 terdiri dari beribu pulau dan lima pulau besar yang dipisahkan perairan [1]. Wilayah yang luas ini juga membutuhkan jalan sebagai infrastruktur terpenting dalam proses pembangunan dan sarana transportasinya. Pada tahun 2002, besarnya mobilitas perekonomian melalui jaringan jalan baik nasional maupun provinsi rata-rata mencapai sekitar 210 juta kendaraan per kilometer [2]. Perkembangan jalan di Indonesia sebenarnya dimulai sejak beratus tahun yang lalu ketika masa penjajahan Belanda. Saat itu sejumlah pribumi dipaksa untuk bekerja membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Proyek jalan yang pertama dibangun di Indonesia ini menghabiskan sumber daya dan waktu yang begitu besar dari pihak pribumi sendiri. Berbagai kebijakan politik di masa penjajahan menjadikan proyek jalan pertama di Indonesia itu terlaksana dengan baik. Sejak saat itu, mulailah berbagai jenis jalan di Indonesia diciptakan demi memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia untuk berpindah.

2. PEMBANGUNAN JALAN DI INDONESIA

Pembangunan jalan di sebuah daerah awalnya dipengaruhi keinginan manusia sebagai mahluk sosial untuk berkomunikasi. Namun, akibat jauhnya jarak yang terjadi antar manusia mulailah muncul ide untuk menciptakan suatu alat pemenuh kebutuhan untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, yaitu jalan. Awalnya jalan berupa jejak-jejak manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring perkembangan waktu akhirnya jalan dibuat menjadi jalan setapak. Dengan munculnya berbagai alat transportasi seperti kuda, hewan, gerobak, dan lainnya maka mulailah jalan dibuat dengan perkerasan atau diratakan.
Perkembangan jalan di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan Tarumanegara mulai tahun 400-1519 M. Pada masa itu jalan dibuat untuk menunjang kegiatan perdagangan yaitu untuk mengangkut bahan-bahan untuk pembuatan candi sebagai sarana ibadah. Perkembangan jalan yang lebih maju di Indonesia diawali dengan kedatangan VOC yang dipimpin William Daendles pada tahun 1808-1811. Kedatangan Belanda itu ternyata membawa perubahan besar dalam hal pembangunan jalan di Indonesia. Jalan Daendles (1000 km) merupakan proyek jalan terbesar yang dibangun oleh Belanda di masa penjajahannya. Pembangunan jalan ini dilaksanakan dari Anyer di Banten sampai Panarukan di Banyuwangi Jawa Timur. Panjang jalan yang dibangun ini sekitar 1000 km dan dibangun dengan istilah kerja paksa (romusha). Adapun tujuan dari pembangunan jalan ini yakni memudahkan Belanda dalam mengangkut hasil bumi yang terdapat di daerah Jawa dimana pada masa ini program tanam paksa juga diwajibkan bagi rakyat Indonesia. Pembangunan Jalan Daendles belum direncanakan secara teknis baik geometrik maupun perkerasannya. Perencanaan geometrik jalan seperti sekarang ini baru dikenal sekitar pertengahan tahun 1960 kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 1980.
Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan sehingga dapat memenuhi, fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan optimum (keamanan dan kenyamanan) pada arus lalu-lintas dan sebagai akses kerumah-rumah. Perencanaan geometrik jalan tidak termasuk perencanaan tebal perkerasan jalan walaupun dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari perencanaan jalan seutuhnya, demikian pula dengan drainase jalan.
Adapun tujuan dari perencanaan geometrik jalan adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisien dalam pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan modal awal pembangunan suatu jalan. Ruang, bentuk, dan ukuran jalan dikatakan baik jika jalan tersebut memberikan rasa aman dan nyaman kepada penggunanya. Pada umumnya jalan yang tidak baik menyebabkan beberapa musibah yang berakibat fatal terhadap pengguna jalan.
Penemuan terkait konstruksi perkerasan jalan di Indonesia dipengaruhi oleh penemuan Thomas Telford dari Skotlandia (1757-1834) ahli jembatan lengkung dari batu pada akhir abad 18. Thomas menciptakan konstruksi perkerasan jalan yang prinsipnya hampir sama dengan jembatan lengkung seperti ilustrasi di bawah ini :
Di dalam gambar terlihat prinsip desak-desakan dengan menggunakan batu-batu belah yang dipasang berdiri dengan tangan
Konstruksi perkerasan ini dapat dikatakan berhasil karena mulai dianut oleh orang-orang dari mancanegara. Konstruksi perkerasan yang ditemukan oleh Thomas Telford pun dikenal dengan Sistem Telford.
Tidak hanya sistem Telford, John Mc Adam (1756 – 1836) juga memperkenalkan kontruksi perkerasan dengan prinsip “tumpang-tindih”. Adapun maksud dari tumpang-tindih itu sendiri adalah dengan menggunakan batu-batu pecah dengan ukuran terbesar (± 3 inch). Perkerasan sistem ini sangat berhasil. Sistem ini juga merupakan prinsip pembuatan jalan secara masinal/mekanis (dengan mesin). Sistem perkerasan yang dibawa oleh Mac Adam ini dikenal dengan sistem Makadam.
SUMBER : INTERNET
Gambar 2. Sistem Perkerasan Mc. Adam

Di Indonesia hingga saat ini sistem perkerasan Telford dan Mac Adam masih sering digunakan di beberapa daerah di Indonesia. Kombinasi dari dua sistem ini dikenal dengan sistem Telford-Makadam. Dalam proyek perkerasan jalan dengan kombinasi sistem ini, biasanya sistem Telford untuk bagian bawahnya dan sistem Mac Adam untuk bagian atasnya.
SUMBER : INTERNET
Gambar 3. Rute jalan Daendles yang dibangun dari Anyer hingga Panarukan
Perkerasan jalan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat ditemukan pertama kali di Babylon pada tahun 625 SM. Perkembangan perkerasan aspal di Indonesia mulai dikenal di abad ke 19. Proses perkerasan aspal dimulai dengan tahap awal berupa konstruksi Telford dan Makadam yang kemudian diberi lapisan aus yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan ditaburi pasir kasar yang kemudian berkembang menjadi lapisan penetrasi (Lapisan Burtu, Burda Buras). Tahun 1980, Indonesia diperkenalkan dengan perkerasan jalan dengan aspal yakni berupa emulsi dan Butas. Hanya saja dalam pelaksanaan atau pemakaian aspal butas terdapat permasalahan dalam hal variasi kadar aspalnya yang kemudian disempurnakan pada tahun 1990 dengan teknologi beton mastic [3]. Perkembangan konstruksi perkerasan jalan menggunakan aspal panas (hot mix) mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1975, kemudian disusul dengan jenis yang lain seperti aspal beton (AC) dan lain-lain.
Sistem perkerasan jalan dengan semen sebagai bahan pengikatnya awalnya ditemukan pada tahun 1928 di London. Hanya saja konstruksi perkerasan ini mulai berkembang pesat sejak tahun 1970 ketika mulai diperkenalkan pembangunan perkerasan jalan.


3. KESIMPULAN

Infrastruktur jalan merupakan salah satu komponen yang memengaruhi perkembangan suatu daerah khususnya di bidang ekonomi. Namun, sebelum membicarakan perkembangan ekonomi tersebut, jalan ternyata merupakan jejak sejarah manusia untuk memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial. Di Indonesia sejarah pembangunan jalan dimulai sejak adanya proyek perkerasan jalan dari Anyer sampai Panarukan (akhir abad 18). Pembangunan jalan ini dilaksanakan untuk memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan hasil bumi Indonesia. Pembangunan Jalan Daendles (jalan dari Anyer-Panarukan) belum direncanakan secara teknis baik geometrik maupun perkerasannya. Sistem perkerasan jalan baru dikenal masyarakat Indonesia sejak masuknya sistem perkerasan Telford dan Mac Adam yang mulai berkembang di abad 18. Kedua sistem perkerasan jalan ini masih digunakan dalam hal pembangunan jalan. Tidak jarang kombinasi dari dua sistem perkerasan ini juga menjadi akulturasi sistem baru dalam pembangunan jalan-jalan di Indonesia. Selain kedua sistem perkerasan ini, perkembangan perkerasan jalan dengan menggunakan aspal, beton dan semen pun mulai diperkenalkan dalam tahap konstruksi jalan. Setiap jenis perkerasan baik yang menggunakan semen, aspal maupun beton memiliki karakteristik yang berbeda. Penggunaan perkerasaan dengan suatu material dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi dari jalan sehingga pembangunan jalan yang awalnya hanya sebagai jejak manusia untuk berkomunikasi dapat dimanfaatkan secara efisien dan tepat guna.



referensi

[1]   Nurfitriani, Rani. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jalan Tol di Indonesia. IPB Press, hlm. 1.
[2]   BAPPENAS. 2003. Pengembangan Lembaga Keuangan dan Investasi Infrastruktur. BAPPENAS, Jakarta.
[3]   Tim Penulis Gunadarma. Rekayasa Jalan Raya Jilid 1. Penerbit Gunadarma, hlm. 1-2.