Sunday, March 21, 2010

Wanita Pemberontak Jiwa

Jiwaku berontak
Kepada siapa-siapa yang mengelak
Mengekangku dengan tali yang kencang
Ku berontak dengan mengelinjang
Menarik kembali segala perlakuan
Aku berontak siapa saja
Yang halangi aku dan remehkan aku
Apalagi si pemuda itu
Aku berontak padanya
Atas nama cinta yang ia sebut
Atas kata kasih yang ia ucap
Aku berontak bilamana ku tak suka
Aku hela semua beban yang menghimpit
Aku buang segala peraturan dalam hidupku
Aku bentangkan selebar-lebarnya sayap kemerdekaan
Aku berontak bersama gemuruh awan
Kulawan segala arus
Karena aku ingin beda dan tunjukkan
Akulah wanita pemberontak jiwa

Wanita itu Mawar

Hanya mekar sekali, tak berkali-kali
Hanya dapat diam, ketika si kumbang menyerang
Hanya bisa mempesona, tanpa terbiasa menjaga
Hanya dapat bersedih, bila nektar t'lah terhenti
Hanya akan nestapa, ketika ada luka
Hanya bisa putus asa, bila si kumbang tak kunjung jera
Hanya dapat layu, ketika waktu tak lagi berbalik
Hanya mampu menangis, bila kata t'lah habis
Hanya bisa memendam, buah pikiran yang terbeban
Hanya bisa gelisah, bila si buah hati tak kunjung tiba
Hanya mampu ini dan itu, karena wanita itu mawar
Hanya mekar sekali dengan menyilaukan mata setiap kumbang
Hanya dapat diam dan merubah semua bahasa kalbu
Hanya bisa mempesona yang dapat getarkan dunia
Hanya dapat bersedih untuk lampiaskan penyesalan diri
Hanya akan nestapa dengan 1000 luka
Hanya bisa putus asa bila t'lah tiba waktunya
Hanya akan layu bila musim telah berganti
Hanya akan menangis dalam kesedihan yang mendalam
Hanya bisa memendam agar orang lain jadi tenang
Hanya mampu gelisah karena cinta yang teramat sangat
Hanya mampu ini dan itu
Karena aku adalah wanita
Dan wanita itu mawar

Papan Catur

Papan catur retak
Bersama nama-nama bangsawan
Terlibat konspirasi terkemuka
Mengalirkan darah nestapa
Merembes darinya luka-luka kesedihan
Papan catur rusak
Tergilas roda kencana para cendekia
Bersama ringkikan kuda yang membahana
Menutup nadir-nadir kehidupan yang terbuang
Melantunkan bias huru-hara
Alam kembali mengerang
Bersama papan catur yang menyeruak
Melantunkan angin diam dan menghidupkannya
Kini kuputar lagi waktu bersama papan catur yang hilang
Lari dari arena
Terbang jauh dari kehidupan
Papan caturku rusak
Karena dia orang-orang jahannam

Biarkan Saja

Bersama dari simpulan aurora di sela senja
Terajut bersama bulir-bulir kerinduan
Mereguk mimpi bersama
Mengalunkan malam yang tlah lalu
Aku berdiri terpaku
Nyalang mata menerobos sela kehidupan
Panas tanpa hujan tak lagi dipedulikan
Biarkan saja malam diam
Biarkan saja angin runtuh
Biarkan saja amarah retak
Kulampiaskan jauh-jauh mereka jauh
Biar saja jauh biar tak kulihat
Semua berawal dari siluet dibungkus malam
Bersama dedaunan yang terbuang
Meniti paku-paku hidup yang dalam
Biar saja
Karena ku tak tahu
Karena ku menyerah
Karena ku tak acuh

Saturday, January 02, 2010

Keikhlasan Ayah

Cerita ini sebuah realita
Seorang ayah yang begitu setia
Tangannya kasar dan bersisik
Karna t'lah coba lepas jerat kemiskinan keluarganya
Aku ini hanya sang petualang
Dari negeri seribu mimpi
Malam itu aku lihat si ayah menanti
Upah kerja di pagi hari
Ia duduk di depan sebuah rumah yang berpagar tinggi
Kedua tangannya bertaut
Sepertinya tengah berharap
Ketika kutanya,
Sedang apa gerangan ia,
Terdengar...
Jawaban lugu si ayah
"Aku hendak belikan baju lebaran untuk anakku. Semoga saja malam ini kudapat upah kerjaku selama seminggu".


Oleh:
Yelna Yuristiary

Kisah Di Peraduan Putri Yeye

Malam sunyi di peraduan Putri Yeye
Disana banyak anggrek
Bertabur dan berpautkan arang
Seia sekata tuk saling mendukung
Di peraduan Putri Yeye
Terhimpun sejuta pelajaran
Terserak sejuta kenangan
Angan silam yang tertutup lembaran kenangan
Di peraduan Putri Yeye
Pelbagai nuansa kelap kelip kunang-kunang
Menghambur berpendar-pendar
Bersama dirikan kursi reyot yang tua
Di peraduan Putri Yeye
Ilmu dari jalan yang panjang tertuang
Di selembar sutera suci
Dengan setangkai pena sebagai pengukir
Di peraduan dia
Kini dapat kulihat
Bergeloranya alam di sendu matanya


Kampar, 30 Desember 2009
Oleh : Yelna Yuristiary

Angin Masih Diam

Ketika waktu berlalu
Hati jelmakan rasa, lalu-lalang
Melanglang buana seantero cakrawala
Amboi angin yang lalu
Gemerisik daun dibuatnya, agak patah pula ranting kayu
Seketika...
Angin diam, senyap, sepi
Galau aku melihat nelangsa
Menanti kabar si angin diam
Kapan lagi angin kemari ?
Jika ia masih diam


Kubang, 4 Oktober 2009
Oleh : Yelna Yuristiary

SI SANJANI 71

Kini sudah banyak camar yang datang
Mengendus bau semerbak warna-warni
Menggenggam setiap asa dan karsa
Ketika camar masih tegak di sini
Kepingan jiwa tengah terpecah
Terburai bersama dendam dan logika
Mengambang terbang melayang
Melanglang buana senatero negeri
Ketika itu Sanjani hanya diam
Terkunci rapat di balik bilik bambu
Sepertinya ingin ia suarakan satu kata
Lemah lembut angin
Membisikkan kerinduan yang terkubur
Bersama angin sore yang mendesing
Kukayuh lagi sepeda tua yang kumiliki
Masih bersama camar yang membatu
Menjejakkan kaki di tanah yang usang
Hingga aku lelah,
akan kukayuh sepeda tua sampai Sanjani bicara


Kubang, 16 November 2009
Oleh : Yelna Yuristiary

SI SANJANI 72

Semakin jauh aku berlayar
Menyebrangi anak sungai bercabang
Mengarung arus di samudera luas
Makin banyak yang aku lihat
Di tengah hiruk pikuknya kejadian
Mulai dari masalah yang kecil hingga yang kompleks
Ketika aku masih berjalan
Kudapati seribu mimpi yang terbang
Melayang dan hilang
Di bawahnya ada banyak kanak-kanak yang menangis
Terurai air matanya dengan kesedihan
Pilu dalam tragedi yang mencuat
Di tanah ini, di waktu ini
Banyak kupandangi mereka yang sendu
Menangisi nasib tragis di tangannya
Namun kutahu teman
Waktu terus berjalan
Pesanku padamu,
"Tentanglah angin seberapa kuat dirimu. Tentang sekuat-kuatnya. Hingga nanti dirimu terbang bersama layang kehidupan".


Kubang, 16 November 2009
Oleh : Yelna Yuristiary

SI SANJANI 73

Kini aku berada di tengah kebingungan
Alam yang kupijak kini seperti baru
Hampa dan lengang
Jauh dari keramaian dunia
Sanjani...
Tahukah kau di dalam pikirku
Tertaut sejuta bayang
Melebar hingga datang sang penguasa hati
Bersama angin tertiup rendah
Aku disini masih bertanya
Apakah kebingungan yang hampa akan reda
Sanjani...
Sejak kau berangkat ke Sukajadi
Aku jadi bingung sendiri
Apa yang hendak kulakukan lagi?


Bukit Batu, 22 Desember 2009
Oleh Yelna Yuristiary