Perbincangan malam ini
dengan salah seorang teman baikku yang sekarang tengah melanjutkan studi di
Jerman ternyata banyak memberikan pengajaran bagiku dan mungkin saja bagi
bangsa ini. Ya, Jerman yang terkenal dengan riset-riset mutakhirnya dan segala
jenis penemuan yang mampu mengguncangkan dunia telah membuat Negara ini jauh
lebih bersinar di mata dunia. Tapi, sebenarnya ada satu hal yang harus kita
ketahui sebagai bangsa Indonesia dalam menyikapi hal ini. Hmm… Apalagi kalau
bukan system dan kebiasaan masyarakatnya.
Tahukah engkau wahai para pembaca catatan ini, ternyata
Negara Jerman itu memiliki satu peraturan bagi masyarakatnya yang ingin
mendirikan suatu perusahaan atau pabrik untuk menyediakan sekian persen dananya
untuk penelitian yang terkait dengan usaha mereka dan satu penelitian khusus
yang sama sekali tidak berhubungan langsung dengan jenis usaha yang sedang
mereka dirikan. Hal inilah yang membuat Jerman semakin hebat dalam
mengembangkan teknologi-teknologinya. Hal mengejutkan yang patut kita ketahui
bahwa saat ini di Jerman tengah di produksi tangan buatan (lupa namanya), yang
mana tangan ini berfungsi hampir sama dengan tangan manusia pada umumnya. Hanya
saja tangan buatan ini berisikan berbagai chip dan program sehingga kita dapat
mengendalikan tangan buatan ini hanya dengan berpikir. Ya, hampir sama dengan
tangan ciptaan Tuhan bukan? Hanya saja, mungkin masih ada hal-hal yang belum
mampu dilakukannya karena pada asasnya tangan ciptaan Tuhan adalah tangan
terbaik yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Selain itu Jerman juga telah
mengembangkan prajurit perang buatan, yang mana jasad-jasad prajurit yang telah
meninggal dikosongkan isinya (seperti darah dan lain-lain), kemudian jasad ini
diisi dengan mesin-mesin dan diprogram seperti manusia sungguhan yang dapat
berperang. Saat ini Jerman tengah mengembangkan penemuan itu. Oya, dalam
penemuan itu juga setiap jantung, paru-paru dan otak manusia sebelumnya tidak
dihilangkan dari jasadnya. Akan tetapi ketiga hal tersebut menjadi komponen
penting dalam pencapaian hasil pembuatan robot ini.
Mungkin bukan hal yang mengejutkan lagi bagi Jerman untuk
menciptakan computer, handphone atau gadget lainnya yang mana pengoperasian
alat-alat ini tidak berdasarkan sentuhan
fisik lagi. Saat ini computer, handphone dan berbagai gadget masa depan juga
telah banyak digunakan masyarakat di belahan bumi Eropa dalam menjalankan
segala aktifitasnya. Biasanya sensor pendeteksi perintah yang diberikan si
pengguna adalah berupa gesture tubuh atau suara. Malahan di Jerman saat ini
sudah banyak helihopter mainan dengan 4 baling-baling yang mampu dioperasikan
hanya dengan mengangkat tangan dan melambaikannya ke kanan ataupun ke kiri.
Sungguh kemajuan teknologi yang sangat memukau tentunya.
Namun begitulah sekelumit cerita tentang Jerman terkait
dengan teknologinya. Menurut cerita temanku, Jerman sangat menjunjung tinggi
penemuan dan segala jenis riset yang dilakukan. Pemerintah Jerman sendiri
ternyata memangkas sebagian besar pajak masyarakatnya untuk membiayai riset
yang dilakukan oleh sebagian orang. Untuk kita ketahui bahwa di Jerman ini
sebenarnya riset ataupun penelitian tidak hanya dilakukan oleh kalangan
akademisi saja. Akan tetapi setiap orang dihimbau untuk melakukan riset.
Seperti perusahaan Siemens yang berada di Jerman saja, mereka diwajibkan
memiliki laboratorium sendiri untuk riset yang terkait dengan teknologi dan
satu lagi laboratorium bebas atau dana bebas yang nantinya digunakan untuk
membiayai riset yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan bidang
usaha yang tengah ditekuninya. Alhasil, Siemens saat ini telah menciptakan
sebuah kapal selam tercanggih yang tidak mampu terdeteksi keberadaanya.
Sekelumit kehidupan tentang Jerman juga rasanya sudah
kualami seiring perbincanganku dengan temanku tadi. Di Jerman segala proses
sangat dijunjung tinggi. Bukan hanya pencapaian akhir yang dijadikan target
utama untuk menilai seseorang. Di Jerman setiap orang memiliki jati diri yang
begitu nyata. Mereka tidak peduli dengan apa kata mereka. Mereka berbuat dan
berusaha dengan apa yang mereka bisa. Menurut penuturan salah seorang siswa
Indonesia yang kuliah di Jerman, pernah suatu ketika ia mendatangan dosen
pembimbing untuk meminta nasihat. Beginilah kira-kira potongan percakapan
mereka berdua :
Siswa : Bu, saya kecewa karena tidak bisa seperti dia. Dia
begitu pintar dan memiliki nilai yang sangat bagus. Saya kecewa dengan diri
saya sendiri.
Guru : Kenapa kamu ingin jadi seperti dia?
Siswa : Dia pintar dan peringkatnya bagus di kelas.
Guru : Lalu kamu ingin menjadi seperti dia?
Siswa : Iya. Saya ingin pintar juga.
Guru : Kalau begitu, kamu pulang saja ke Indonesia.
Siswa
terdiam…
Guru : Setiap orang memiliki kapasitas otak yang sama,
hanya saja mereka berbeda dalam mengolah kemampuan berpikirnya. Namun kamu
dapat memaksimalkan kemampuan yang kamu miliki. Tinggalkan yang menurutmu sulit
dan tingkatkan terus yang kau bisa. Hanya saja, jika kau masih belum puas
dengan apa yang kau dapat, jangan berkecil hati. Belum terlambat untuk berubah.
Mulailah dari sekarang untuk menghargai dirimu dan kemampuan kecil yang
sebenarnya dapat menjadi kemampuan luar biasa jika kau mampu memaksimalkannya.
Dari percakapan di atas mungkin kita hanya menangkap beberapa poin penting yang dapat terlihat
secara kasat mata. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa inti dari
percakapan ini adalah percakapan terakhir dari sang guru kepada muridnya. Hanya
saja, sebenarnya hal kecil yang perlu kita pahami ada pada kalimat ‘Kalau
begitu, kamu pulang saja ke Indonesia’. Sebenarnya perkataan itu memiliki
begitu banyak pelajaran bagi kita sebagai masyarakat Indonesia. Maksud si guru
berkata demikian adalah karena sebagian besar mahasiswa Indonesia yang tengah
menempuh studi di Jerman sering mengeluhkan hal-hal seperti itu. Mereka kurang
puas dengan nilai mereka. Ya… NILAI. Nilai merupakan hal yang sangat fatal di
Indonesia, tapi tidak untuk di Jerman. Di Indonesia segala jenis wahana
pendidikan menawarkan segala sesuatunya diukur dengan nilai. Sedangkan di
Jerman segala-galanya diukur dengan proses dan grafik perkembangan siswa/i-nya.
Hal ini juga yang membuat pencapaian Indonesia akan sumber daya manusia-nya
masih tergolong belum berkembang jika dibandingkan dengan Jerman. Begitu juga
jika kita dihadapkan dengan kedisiplinan orang Jerman yang tepat waktu,
sebenarnya ada dua aspek penting yang harus diperhatikan mengenai hal tersebut,
yakni system dan kebiasaan. Sistem yang ada di Indonesia belum memadai untuk
membuat seseorang senantiasa dating tepat waktu di suatu pertemuan. Masih banyak
factor-faktor yang mengganggu seperti kondisi angkutan, macet, kecelakaan, dsb.
Berbeda dengan Jerman yang segalanya sudah ditata sedemikian rupa sehingga tak
ada kesalahan dikarenakan system. Selain itu kebiasaan juga merupakan suatu
turunan yang sulit dihilangkan namun belum terlambat untuk meninggalkan
kebiasaan yang buruk tersebut.
Jerman sejak dahulu sudah terbiasa teliti, maka hal
inilah yang membuat teknologinya canggih sedemikian rupa. Jadi, menurut cerita
temanku yang kini tengah menapaki jalur kehidupannya di Jerman, pengontrolan
orang Jerman terhadap suatu pekerjaan itu sangat teliti. Saat ia bekerja di
salah satu proyek pembangunan saja, perbedaan beberapa gram pasir, semen atau
air yang digunakannya diperiksa ketelitiannya sedemikian rupa, sehingga
masyarakat kita mungkin mengganggap hal tersebut sebagai hal yang dinamakan
‘lebay’. Akan tetapi, hal inilah yang membuat bangunan di Jerman lebih kuat dan
kokoh. Ketelitian dalam perhitungan, rancangan, dan pelaksanaan di lapangan
yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi hasil akhir yang didapatkan oleh sang
owner dari proyek tersebut. Selain itu, masyarakat Jerman sedari kecil sudah
diajarkan untuk total dalam melaksanakan sebuah pekerjaan. Ya, etos kerja
sangat dijunjung tinggi disini sehingga setiap tindakan yang dilakukan
masyarakatnya berlandaskan totalitas yang ia miliki. Kebiasaan membayar pajak
juga merupakan hal yang sangat menarik bagiku saat mendengarkan bahwa setiap
masyarakat Jerman itu dijamin hidupnya oleh pemerintah. Jadi, di Jerman setiap
orang sangat menyadari betul kewajibannya untuk membayar pajak sehingga
masyarakatnya yang pengangguran sekalipun masih mendapat tunjangan dari
pemerintah.
Kemudian, hal menarik terakhir yang saya tangkap dari
Jerman ini adalah mengenai koran lokalnya yang isinya sebagian besar mengenai
isu-isu hangat tentang riset atau penemuan baru. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan koran lokal Indonesia yang sebagian besar isinya pasti mengenai isu-isu
politik dan berbagai kasus-kasus miring yang dilakukan pejabat terkait. Sungguh
hal yang sangat ironis bukan?
Nah, berkaca dari Jerman sesungguhnya kita masih
belum terlambat untuk berubah dan
memaksimalkan potensi yang kita maupun Negara kita miliki. Tak perlu menjadi
Negara industri jika kita mampu lebih maksimal dengan pertanian dan perikanan.
Tak perlu menjadi Negara yang terkenal dengan nuklirnya jika ternyata energi
panas bumi di Indonesia cukup besar untuk melaksanakan segala hal yang kita
butuhkan. Satu hal yang pasti, mulai sekarang marilah kita merubah kebiasaan
buruk yang kita miliki agar nantinya jika sistem Negara kita sudah berubah ke
arah yang lebih baik, kita akan sejalan melaksanakan segalanya dengan maksimal.
Yelna Yuristiary
Depok, 28 Juni 2011
03:34 a.m
Thanks to Ahmad Wahid
Nurhani