Yelna's Hope

This website is a valuable resource that presents a wealth of professional experience and the unique point of view of Yelna Yuristiary. Yelna generously shares her insights, knowledge, and expertise, with the hope that readers can use the information to enhance their own understanding, make informed decisions, and achieve their goals.
Showing posts with label SASTRA. Show all posts
Showing posts with label SASTRA. Show all posts

Wednesday, November 01, 2023

Unraveling the Rich History of the Kampar Kingdom in Riau

 Introduction

The history of the Kampar Kingdom, situated in the province of Riau, Indonesia, is a tale of power, culture, and legacy that has played a significant role in the region's development. Kampar Kingdom's historical narrative is a captivating journey through the pages of time, filled with royal dynasties, trade, and cultural exchange. In this article, we will delve into the fascinating history of the Kampar Kingdom, shedding light on its rise, influence, and ultimate decline.

Early Origins

The Kampar Kingdom, also known as the Kerajaan Kampar, had its origins in the 12th century, during the height of the Srivijaya Empire. It was one of the many small kingdoms that emerged in the region after the fall of the Srivijaya Empire. The kingdom's strategic location near the Kampar River allowed it to thrive as a trading hub, connecting the inland regions of Sumatra to the bustling trade routes along the Malacca Strait.

The Reign of the Kampar Kings

The rulers of the Kampar Kingdom, like many other Indonesian kingdoms, held significant power and influence. The kingdom saw several dynasties over the centuries, with each ruler leaving their mark on the region's history. They were instrumental in promoting trade, culture, and religion in the area. The kingdom was known for its gold, pepper, and forest products, which were highly sought after in the international trade network.

Cultural Exchange and Religion

The Kampar Kingdom was a melting pot of cultures and religions. With its position as a trade center, it became a meeting point for different cultures, including Malay, Javanese, and Minangkabau. As a result, it witnessed the fusion of various cultural elements, which enriched the local traditions and practices.

The spread of Islam in the region was also closely tied to the kingdom. Islamic influences started to penetrate the Kampar area during the 13th century, and by the 16th century, Islam had become the dominant religion.

The Decline of the Kampar Kingdom

The decline of the Kampar Kingdom was a gradual process. It faced internal struggles, external pressures, and competition from neighboring kingdoms and European colonial powers. In the 17th century, the Dutch began to establish their presence in the Indonesian archipelago. As Dutch influence grew, the local kingdoms, including Kampar, faced challenges in maintaining their sovereignty.

By the late 18th century, the Kampar Kingdom had lost much of its power and influence, and it ultimately fell under Dutch colonial control. The Dutch colonial administration brought significant changes to the region, further diminishing the role of local kingdoms.

Legacy and Revival

Today, the Kampar Kingdom lives on in the memory of the people of Riau. The region's rich history and cultural heritage are still evident in local traditions, arts, and customs. Efforts have been made to revive and preserve the kingdom's legacy through cultural festivals, historical research, and heritage conservation.

In conclusion, the history of the Kampar Kingdom is a remarkable testament to the power of trade, cultural exchange, and the enduring legacy of ancient kingdoms in the Indonesian archipelago. Its story serves as a reminder of the rich tapestry of history that has shaped the diverse and vibrant culture of Riau and Indonesia as a whole.

Wednesday, June 10, 2020

KABUR


... hidup memang tidak seperti hidup
Aku memang bukanlah aku
Camar-camar yang terbang tidak lagi hendak akan hinggap
Karena musim hijrah sejatinya tak pernah beku
Angan-angan pengharapan memang saling menatap dan terungkap
Percayalah kawan, mimpi itu semuanya semu...
(Malam Bersama Angan –Yelna Yuristiary, 2013)

Kakiku masih menekuri tanah kering yang sedikit retak karena tengah dilanda kemarau. Balai bambu yang kududuki kelihatan sudah tua dan rusak di bagian atapnya. Bagi anak-anak seumuranku, balai bambu ini sangat cocok dijadikan tempat tidur siang, tentunya dengan tambahan sebuah bantal di sisi kepalanya. Namun tidak bagi orang dewasa. Kaki mereka tentu tidak akan cukup sehingga mungkin nanti akan menjuntai di salah satu ujung balai-balai ini.
Tepat di bagian atas balai yang ditutupi daun rumbia kering berwarna cokelat tua, terlihat seekor nyamuk yang terperangkap bingung. Hendak terbang keluar dan melepaskan dari atap balai yang mengerucut ke atas, tetapi sepertinya nyamuk ini kehilangan arah. Ia hanya berputar-putar dan terkadang seperti menabrak atap rumbia yang sudah bolong-bolong di beberapa sisinya itu. Sinar matahari yang terik memasuki lubang-lubang itu dan membentuk garis lurus hingga menimpa beberapa bagian bawah balai. Tidak panas, pikirku. Aku merasa sedikit melayang-layang tertiup angin sepoi yang berhembus menyelinap ke bagian bawah atap balai. Mamak yang tadinya tengah membersihkan ikan yang baru saja ditangkap Bapak sudah masuk ke rumah. Bau amis masih tertinggal di halaman. Poni, si kucing belang kesayanganku terlihat bahagia dengan jatah insangnya di siang itu. Aku memejamkan mata, menikmati angin, menikmati bau amis ikan, menikmati wangi putik jambu yang terkadang serbuknya terbang dibawa angin.
Seketika, mobil jeep hitam menerobos halaman barak kami. Deru mesinnya mengaum sebelum tiba-tiba mati dan meninggalkan kepulan debu di jalan pasir yang ia lewati. Dari dalam mobil keluarlah tiga orang pria lengkap dengan rompi hitam yang bertuliskan ANT. Ant? Semut? Tidak mungkin pikirku. Bergegas pria-pria ini menghampiriku yang tengah beristirahat di balai.
“Mana Bapak?” tanya pria pertama yang memiliki perawakan sedikit lebih tinggi dibanding dengan kawan-kawannya.
“Om siapa?” aku kembali bertanya.
“Sudah. Jawab saja. Mana bapakmu,” serang pria kedua yang badannya gempal seraya mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku celananya.
Mendadak nyaliku ciut. “Di dalam,” kujawab sekadarnya.
Setelah kujawab pertanyaan itu, kedua pria tadi pun segera bergegas masuk. Tidak sopan, pikirku. Tidak ada berucap salam, apalagi mengetuk pintu. Sedangkan aku ditemani oleh pria ketiga yang wajahnya paling tampan di antara dua teman-temannya. Hanya saja ia tak cukup manis karena malah menyorongkan pisau lipatnya di punggungku. Dingin. Akupun kaku karenanya.
Tidak lama berselang, terdengar suara gaduh di dalam barak kami. Tapi anehnya tidak ada suara Mamak dan Bapak. Entah kemana mereka, pikirku. Pintu sederhana barak yang berwarna putih itupun aku pandangi sambil tetap duduk kaku bersama si pria nomor tiga ini. Terdengar juga pecahan kaca di dalam barak. Entah kaca apa. Kaca piring, kaca lemari, cermin atau apalah. Yang pasti bukan kaca mobil. Ya... Kami tidak memiliki mobil. Satu-satunya kendaraan yang selalu digunakan Bapak adalah sepeda ontel tua dengan stang yang sudah karatan yang teronggok di sudut halaman barak.
Tak lama setelah bunyi pecahan kaca itu, kedua pria tadipun keluar dengan muka yang kusut. Kecewa dan merasa dipermainkan. Setidaknya ekspresi itu yang aku tangkap dari raut dan gerak gerik mereka.
“Nggak ada?” tanya si pria nomor tiga.
“Sialan. Dia kabur. Jual aja anaknya,” jawab si pria nomor satu.
Bergegas pria nomor dua dan tiga memboyongku ke jeep mereka. Mulutku dibekap. Aku meronta hebat. Kedua tanganku diikat di depan. Lima menit meronta, akhirnya aku merasa kelelahan. Diam. Menuruti semua perkataan mereka. Masuk ke mobil. Duduk di jok paling belakang bersama lelaki nomor tiga. Lelaki yang paling tampan.
Mobil melesat pergi meninggalkan barak kami. Tidak ada satupun tetangga yang sekadar melongok siapa yang baru saja datang dan pergi. Apalagi keluar rumah. Mungkin mereka sedang tidur siang, pikirku.
Pohon-pohon ketapang di sepanjang sisi jalan dahannya meliuk-liuk dihembus angin segar. Daunnya berdebu, kotor. Mobil jeep yang kami tumpangi naik turun karena adanya beberapa bagian jalan yang berlubang. Sepanjang jalan juga masih lengang. Hanya ada mas-mas penjual sayur di pertigaan depan yang sibuk mengemasi barang dagangannya. Sepertinya ia juga tidak peduli dengan mobil jeep yang sebentar lagi akan melewatinya.
Selangkah lagi menuju gerbang keluar asrama, mobil kami akan berhenti di pos jaga. Sebelumnya lelaki nomor tiga menutupiku dengan selimut kumal yang bau. Dia bilang aku harus diam. Perintahnya kali ini disertai ancaman dengan pisau lipat yang mengkilat ditimpa cahaya matahari. Aku pun hanya diam di dalam selimut bau. Mobil menurunkan kecepatannya perlahan. Si sopir yang juga merupakan lelaki pertama menyapa si satpam di pos jaga. Ada sedikit tawa sepertinya antara mereka berdua.
Mobil kembali melaju kencang seperti kereta api tanpa rem yang akan melindas apa saja yang mencoba menghalanginya. Jalanan berlubang pun tidak lagi dipedulikan. Aku masih berada di dalam selimut bau. Kepalaku pegal karena tertekuk. Aku menggeram, memberi tanda bahwa aku lelah. Si lelaki nomor tiga menarik selimut itu. Tersenyum, manis. Aku tak habis pikir, mengapa lelaki setampan ini malah menjadi penjahat, si penculik anak.
Lewat kaca mobil yang buram dan berbaret halus, aku menerawang ke luar. Tempatnya sudah berbeda, pikirku. Tidak ada lagi pohon ketapang, kedai kopi sekitaran asrama ataupun sekolahku. Tempat ini sepertinya lebih jauh dari tempat-tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Tidak ada juga rumah-rumah di sepanjang jalan. Yang ada hanya perkebunan sawit yang gersang. Satu dua pohon tengah berbuah. Ada juga beberapa tandan sawit yang telah siap dipanen sepertinya. Aku kembali melihat ke depan. Jalanan juga sepi. Di kejauhan terlihat sepasang suami istri yang sepertinya baru pulang dari berkebun.
Mobil jeep belok kanan, menuruni jalan tanah yang tidak beraspal. Di belakangnya mengepul debu yang niscaya memicingkan mata siapa saja yang berusaha membuntutinya. Sekitar 200 meter dari persimpangan jalan tanah tadi, akhirnya kami berhenti di sebuah pondok kecil. Pondok ini terbuat dari anyaman bambu yang cukup rapi. Atapnya ditutupi daun rumbia, sama seperti balai-balai di depan barak, pikirku. Di sekeliling pondok terdapat sebuah kandang ayam yang cukup besar dan kamar mandi darurat. Ayam-ayam mereka juga tergolong unik. Sepertinya ayam kalkun, cirinya sama dengan yang pernah aku pelajari sewaktu di kelas Ilmu Pengetahuan Alam kemarin. Pria nomor satu pun mulai meloncat keluar. Mengetok pintu kayu yang reyot. Tidak lama, menyembullah kepala seorang wanita paruh baya. Ia mengenakan kebaya hijau dan kain pinggang bercorak batik. Tradisional sekali, pikirku. Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius. Sesekali si wanita mengangguk. Entah mengerti atau tidak dengan pembicaraan si pria nomor satu. Bersamaan dengan itu, akupun dikeluarkan dari jeep pengap ini. Ahh... Leganya. Namun aku masih sadar, aku diculik sekarang. Tapi aku tidak lagi meronta. Mencoba menjadi anak baik dan akan kabur jika nanti ada kesempatan, pikirku.
Cuaca sudah mulai gelap membayang. Sinar matahari yang tadi menembus sela dedaunan mulai samar. Langitpun mulai berwarna jingga. Pembicaraan pria pertama dan si wanita dilanjutkan di dalam pondok. Kami dipersilahkan masuk. Hingga larut malam mereka masih asyik berbicara. Kali ini peserta diskusinya ditambah dengan pria nomor dua. Sedangkan pria nomor tiga masih menemaniku di sudut ruangan. Masih mengancam dengan pisau lipat yang tidak begitu menakutkan di malam hari. Mungkin karena cahaya yang menimpanya tidak sebanyak di waktu siang. Aku masih gelisah. Ingin pulang, bertemu mamak dan bapak. Meskipun mereka sudah menghilang dari barak kami tadi siang. Masih saja aku ingin pulang dan mengadukan kejahatan ini ke tetangga-tetangga kami, meskipun tidak semuanya mengenalku.
Aku menggeram, menandakan ingin berkata sesuatu. Si pria nomor tiga akhirnya membukakan plester yang dari tadi siang menutup mulutku.
“Om, saya mau pipis,” laporku seperti seorang anak TK yang baik-baik.
Sekilas pria nomor tiga meminta persetujuan dari kedua rekannya. Si pimpinan komplotan, pria nomor satu mengangguk. Tidak terlalu memerhatikan.
Akhirnya aku dan pria nomor tiga pun keluar dari pondok. Cuaca di tengah kebun karet ini sangat gelap. Satu-satunya cahaya temaram yang ada hanyalah lampu kecil yang tergantung di depan pondok sebagai penerangan halaman sekitar. WC yang kumaksud tidak cukup jauh. Si pria nomor tiga mengantarkanku sampai di ambang pintu WC. Aku masuk. Sebelumnya aku bilang juga kalau aku hendak buang air besar juga.
WC ini sangat darurat, pikirku. Bagian dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah rapuh. Keran air aku hidupkan. Sebenarnya aku tidak begitu ingin pipis. Kupandangi setiap sudut WC. Ada satu lubang besar yang ada di bagian atas dinding. Tepat membelakangi pintu yang dijaga oleh pria nomor tiga tadi, pikirku. Aku harus memanjat ke situ. Kususun ember dengan posisi terbalik. Tanganku meraih tepi lubang. Dengan segenap tenaga kunaikkan badanku. Tidak terlalu tinggi, aku sampirkan kaki di bagian kanan lubang sehingga kini posisi badanku setengahnya sudah berada di luar. Suara keran masih berisik. Sebelum melompat keluar aku sempat berteriak sebentar,
“Om, tunggu ya. Sebentar lagi.”
“Iya,” jawab orang di seberang sana.
Hati-hati aku melompat ke sebelah dinding. Di tengah gelap aku mencoba berjalan menjauhi WC dan pondok. Terus melangkah menuruni jalan setapak berjenjang hingga tiba di tengah kebun yang lapang. Di situ tidak ada pohon sawit. Hanya ada beberapa pohon kapuk di pinggirnya dan rumput yang beberapa tumbuh setinggi pinggangku. Menyeramkan, pikirku. Namun aku harus pulang. Jauh di seberang lapangan ada pondok kecil juga. Sepertinya tidak ada penghuninya, pikirku. Di belakangku suara orang berteriak-teriak. Suara pria nomor tiga dan dua rekannya. Cahaya senter mereka terlihat seperti kunang-kunang yang terbang kesana-kemari.
Kupercepat langkahku. Terkadang kakiku juga tersangkut tanaman puteri malu yang berduri. Tertusuk duri, sedikit sakit. Tak apalah. Yang penting aku bisa lari dari komplotan orang jahat ini. Aku menuju pondok gelap itu. Pondok yang berbentuk rumah panggung ini sudah cukup reyot. Sepertinya sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Di bagian dinding juga telah dililit batang tanaman merambat. Atapnya juga dipenuhi sampah dedaunan yang jatuh dari pohon-pohon di sekelilingnya. Tangga menuju terasnya juga sepertinya tidak lagi dapat dinaiki oleh orang dewasa. Baguslah. Setidaknya aku dapat bersembunyi di balik pondok ini.
Aku melangkah, menuju bagian belakang pondok. Ada satu triplek lebar di belakangnya. Sudah uzur sama seperti pondok ini. Tidak jauh di belakangku kudengar si penjahat-penjahat tadi masih mencariku.
“Kemana dia?” teriak satu diantara mereka.
“Mungkin kesana,” jawab yang satunya lagi.
Sedangkan aku masih menyelip diantara dinding pondok dan triplek tua yang ada. Seketika karena saking takutnya aku ingin pipis. Tak banyak berpikir, aku akan pipis di sini saja. Di tempat persembunyianku. Pipis di celana saja, pikirku.
Sambil jongkok aku pipis di celana. Hangat. Namun aku sedikit heran, kenapa hangatnya menjalari hingga kedua betisku. Padahal aku sedang jongkok saat ini. Tiba-tiba kakiku ditarik salah satu penjahat ini.
“HEI KAMU!!!” aku terkejut.
Sesaat aku sadar, aku bermimpi. Kubuka mata segera. Cahaya terang membuatku silau. Mamak sudah berada di depanku dengan muka yang masam. Apalagi kalau bukan karena aku kencing di celana. Aku hanya tertawa konyol.
“Bangun. Bersihkan itu dengan itu,” ucap Mamak seraya menunjuk air kencing dan air ember yang ada di teras barak kami.
Secepat kilat aku duduk dan mulai menuruti apa perintah Mamak. Di dalam hati aku sangat senang. Aku tidak diculik.

TITIPAN HUJAN (pernah terbit di Harian Riau Pos)


Jalanan kota bertuah ini masih becek karena hujan semalam. Kemarin sore, Pak Junaidi menyuruhku untuk mengantarkan proposal ini ke tempat salah satu kenalan lamanya yang kini tengah mengurusi perusahaan karet. Ia membekaliku dengan upah Rp100.000, itu semua tidak termasuk uang konsumsi dan transport.
Memang, usaha yang dibuka Pak Junaidi tidak dapat dikatakan usaha besar. Namun, jika ditinjau dari peluang ke depan, usaha yang digelutinya cukup menjanjikan. Sebenarnya aku bukanlah anak buah Pak Junaidi. Saat itu aku tak sengaja bertemu dengannya di salah satu rumah makan tempat aku bekerja sebagai pelayan. Sejak saat itu ia sering mempekerjakan aku di luar jam kerja.
Tepat di samping salah satu travel yang berwarna biru, aku berhenti sejenak. Memperhatikan kalau-kalau masih ada lowongan kosong untukku. Namun, belum sempat aku bertanya, si supir langsung saja melarikan mobilnya. Aku pun hanya terdiam melihat mobil itu dengan tatapan kosong. Hmm…
Tak jauh dariku ada sebuah travel lagi yang pintunya masih terbuka. Sepertinya masih ada lowongan untukku. Sambil bergegas menuju pintu travel itu, aku perhatikan nomor polisi kendaraan itu. Cukup unik BM 8956 FU. Aku pun naik dan memilih duduk di dekat pintu. Karena, menurut pengalaman, aku akan selalu muntah jika bepergian jauh.
Aku pun duduk dengan tenang sembari menunggu penumpang yang lain. Karena, sopir travel ini segera tancap gas jikalau penumpang memenuhi travel ini. Dari jendela aku dapat menghirup udara segar yang dapat menahan aku agar tidak pusing selama dalam perjalanan. Di sebelahku ada seorang pemuda yang sepertinya sedang serius dengan ponselnya. Aku mengamatinya lekat-lekat.
“Eeheemm…,” aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya.
Pemuda itu menoleh dan tersenyum simpul kepadaku. Ia sesaat menilik pakaianku, kemudian sibuk kembali dengan ponselnya. “Abang mau ke mana,?” tanyaku.
“Nggak ada. Jumpa teman,” sahutnya. Aku tersenyum saat melihat gerak-geriknya yang sepertinya sedang dilanda kasmaran.
“Teman apa teman?,” godaku kepadanya.
“Hehehe… Nggaklah, bang. Emang abang mau ke mana?,” tanyanya berbalik kepadaku.
“O… Ini. mengantar proposal,” sahutku sambil tersenyum.
“Memang abang mau ketemu sama teman lamanya, ya?,” tanyaku kembali.
“Nggak sih, bang. Kami udah lama kenalan lewat internet. Dan sekarang kami janjian mau ketemu. Katanya dia nanti menunggu di restoran ToraTori.”
“Oh… Kalau boleh tau, temannya cewek atau cowok?,” tanyaku kembali.
“Ehm,,, cewek bang…”
Aku tersenyum mendengarnya. Aku pernah merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Saat itu aku berumur 18 tahun dan berjanji dengan seorang siswi yang sekolahnya bersebelahan dengan sekolahku. Memang, masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah. Hingga saat ini aku masih mengenangnya.
“Abang mau ngantar proposal ke mana?,” tanya pemuda itu.
“Hmm… Saya kebetulan disuruh bos saya ke kantor temannya di daerah Bangkinang”.
Tak terasa travel ini telah penuh dengan penumpang. Dan sepertinya supirnya telah bersiap-siap untuk berangkat.
Selang beberapa detik, semua pintu telah ditutup dan si supir hendak memasuki travelnya. Namun, dari depan travel tampak seorang ibu tua yang memanggil sopir travel ini. Si supir pun turun dari tempatnya dan menghampiri ibu yang tengah sarat membawa kantung belanjaan yang cukup banyak jumlahnya. Dari kaca travel yang bening aku dapat melihat keduanya berbicara sangat serius.
Kadangkala ibu tua ini melihat ke arah travel dan sepertinya memaksa si supir untuk melakukan sesuatu. Sekitar lima menit lamanya si sopir dan ibu tua ini merundingkan sesuatu. Kemudian, mereka berdua berjalan ke arah travel bersamaan. Kemudian si sopir membuka pintu yang tepat berada di sebelahku.
“Maaf, Pak. Bisa turun. Soalnya ibu ini ada kepentingan yang harus berangkat cepat,” si supir berkata kepadaku.
“Lho… Kok saya yang turun?,”tanyaku.
“Ya, Pak. Siapa lagi? Tolonglah, Pak. Ibu ini harus cepat sampai ke rumah. Anak-anaknya masih kecil-kecil, Pak,” si supir masih membujukku.
Mendengar alasan yang satu ini aku tak mampu bicara lagi. Bagaimanapun aku dapat merasakan apa yang ibu ini rasakan saat ini. Sama seperti perasaan ibuku ketika aku masih kecil mungkin. Hmm… Lagi-lagi aku kembali ke masa lalu. Saat dimana aku merasa tenang berada dalam pelukan hangat ibu. Saat itu aku tak mempedulikan apa yang harus aku kerjakan untuk menyambung hidup. Tak seperti sekarang. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi. Namun, kini ibu telah tiada dan begitu juga dengan ayah
Aku segera turun dari travel. Walaupun sedikit kecewa karena tak dapat berbincang lagi dengan pemuda di sebelahku tadi. Sebenarnya aku penasaran tentang siapa gadis yang hendak ia temui. Aku menoleh ke belakang sesaat dan disana tampak travel-travel lain yang sedang menunggu penumpangnya. Aku bergegas dan naik ke travel itu. Tak butuh waktu lama untuk menunggu travel penuh karena aku adalah dua penumpang terakhir yang masuk. Dan, travel ini mulai melaju di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang. Di sebelahku duduk seorang mahasiswi yang sepertinya baru saja pulang dari kuliahnya. Segan rasanya mengajak ia berbicara. Ada baiknya aku diam saja.
Hamparan sawah dan ladang-ladang memenuhi sisi jalan ini. Apalagi saat kami sampai di daerah Kualu Nenas. Tampak banyak para pedagang yang menjajakan keripik nenas dan buah nenas segarnya. Mereka senantiasa menjual buah-buah nenas ini dengan harga yang relatif murah. Dari nenas kemudian pemandangan alam berpindah ke ladang-ladang karet milik masyarakat. Travel terus melaju di jalanan yang basah. Sepertinya baru saja hujan mengguyur daerah yang kulewati ini. Dari tempat duduk aku dapat melihat kaca depan mobil ini. Sepertinya perjalananku masih jauh.
Duapuluh menit kini, aku dilanda rasa bosan. Aku tak lagi nyaman menikmati perjalanan ini. Punggungku terasa sakit karena terlalu banyak duduk. Dari dalam tas cangklong lusuh yang tengah aku sandang, aku mengambil sebuah buku catatan kecil. Didalamnya ada terselip bolpoin biru.
Aku mencatat semua apa yang kurasakan. Orang-orang kebanyakan bilang bahwa saat ini aku sedang menulis puisi. Namun, aku sama sekali tak pernah berpikiran seperti itu. Aku sama sekali tak berpikiran untuk menjadi sastrawan atau apalah. Saat ini aku hanya menyalurkan apa yang ada di pikiranku. Tiba-tiba…
Travel yang kutumpangi berhenti. Sebelum melihat keadaan sekitar kumasukkan catatan kecil dan bolpoin itu ke dalam tas cangklongku tadi. Sesaat kulihat bagian depan kaca mobil travel ini. Tepat diarah jam sebelas, ada sebuah mobil yang reyot di bagian sampingnya. Sepertinya mobil ini baru saja mengalami kecelakaan. Supir travel yang kutumpangi langsung turun tanpa memperdulikan kami. Sepertinya ia ingin tahu apa yang terjadi. Dari dalam mobil, kuamati lekat-lekat mobil yang naas itu.
Sepertinya aku mengenalnya. Tapi, kapan? Tak sengaja mataku terpaku pada nomor polisi kendaraan itu BM 8956 FU… Hah… Sesaat aku terperanjat. Mobil itu berwarna putih dengan garis biru di pintunya. Bukankah itu mobil yang nyaris aku tumpangi? Dan saat ini posisi aku tergantikan oleh ibu tua tadi. Ya Tuhan… Ingin rasanya aku sujud syukur. Namun, mengenang kejadian yang baru saja terjadi, aku juga dilanda nelangsa. Bagaimana keadaan anak-anak ibu tua itu? Bukankah mereka masih kecil-kecil? Dan, bagaimana dengan teman si pemuda tadi yang sedang menunggunya di restoran Tora Tori ?
Aku termenung sesaat hingga supir travel yang kutumpangi kembali masuk seraya berkata, “Semua penumpang dan supirnya meninggal. Aku kembali terperanjat. Malang benar nasib mereka. Apalagi sebelum kejadian itu aku sempat menggantikan posisiku dengan ibu tua tadi. Dan, aku juga sempat bercerita dengan salah seorang penumpangnya.
Kembali travel yang kutumpangi melesat cepat dan tak lama setelah itu aku telah sampai tepat di depan kantor temannya Pak Junaidi. Aku langsung masuk dan tak butuh waktu lama untuk menyerahkan proposal ini. Seusai dari kantor temannya Pak Junaidi, aku melangkah keluar dan seketika terbaca olehku “Restoran ToraTori”. Hmm… Aku teringat pemuda malang yang baru saja kutemui.
Aku melangkah masuk dan mengamati sekeliling. Di ruangan ini hanya ada tiga orang. Seorang pemuda dan gadisnya ada di salah satu meja. Dan di salah satu meja tampak seorang gadis belia yang sepertinya sedang menunggu seseorang. Langsung kuhampiri gadis itu dan berkata,“Kamu menunggu siapa?”
“Hah……’’
Gadis itu hanya terdiam sesaat dan kemudian berkata, “Aku menunggu teman dari Pangkalan Kerinci. Sekarang dia dalam perjalanan ke sini dari Pekanbaru”, sahut gadis belia itu. Aku mengangguk perlahan dan kemudian berkata ‘’ Apa kau sebelumnya belum pernah bertemu dengannya?”
“Hah… Belum”, jawab gadis itu heran.
“Kalau saya boleh menyarankan, lebih baik kamu sekarang pulang dan mendoakan agar pemuda yang kamu tunggu-tunggu itu.”
“Memang, kamu siapa?”, tanya gadis itu penuh selidik.
“Aku bukan siapa-siapa. Namun, percuma kamu menunggu pemuda itu. Dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Baru saja travel yang ditumpanginya kecelakaan dan semua penumpang serta supirnya meninggal dunia”, sahutku.
Seketika hening menyelimuti restoran ini. Dan tak terduga, si gadis belia meneteskan air mata dan membasahi pipinya yang pucat pasi mendengar berita dariku. Mungkin berita itu titipan dari hujan yang sejak kemarin mengguyur kota bertuah ini.


Saturday, February 15, 2020

CANDY PRINCE



Once upon a time, there’s a poor family with their wonderful daughter. This family living in a small hut inside the forest. Their daughter named is Syahlah. Syahlah’s father works in the forest to make a piece of equipment to catch the birds and Syahlah’s mother used to help him for farming and collect some gemstone from the cave. Syahlah grows as a curious girl who does like asking anything to their parents. And her parents are very supportive people in the world. They used to teach Syahlah about anything they know. They teach Syahlah about how to living in the forest, how to hunt, how to get a rubber, how to make a  hut, how to cook, how to get over from the sickness, how to heal herself even there’s nobody surrounding her. They teach Syahlah mostly everything.
Sometimes, Syahlah’s father buys a book for her when he visiting the city. He used to get a second-hand book which is not so popular by people. At that time, most people like to entertain themselves by reading a comic, novel or storybook. They don’t like science book and some history books. They think that the book is difficult to read and a little bit heavy for their brain. They just read a book which makes them enjoy while reading.
Syahlah and father used to go to the second-hand book store and she will stay over there while her father selling the gemstone or some equipment to catch the birds. In Syahlah place, there are so many birds and people like eating birds. They said birds have more protein and taste better. They used to put a bird catcher in their garden or on top of their home and the next day there’s some small birds inside.
People in this city are so addicted in gemstone too. Their favorite is aquamarine gemstone because they believe it can bring them to the prosperous life. Many fortune teller hiding in this city and told a story to some people about some of gemstone. And most people in this city believe in that.
Syahlah grow day by day far from any cheap gossip from the city. She doesn’t have any friends except her parents. She used to be alone every day but she is happy with that. She found herself and feel enjoy do anything by herself. Sometimes she will talk to her mom about anything she found. They used to share their story each other every day and from what her mother see, they decide to send Syahlah to a kingdom.
Two days ago they know a King open an opportunity to everybody for becoming a teacher for palace district. This people will filtered by an exam and whoever choosed to be teacher will be stay in palace and have a duty for teaching everyone in palace. Syahlah’s mother know her daughter love to share her ideas and addicted in knowledge. She believe in palace there’s a huge library and sure Syahlah will be happy every day surrounding the books. She is a dreamer and she needs more knowledge to built her dream big and bigger.
After all, Syahlah joins that exam and as we guess, she is in. She becomes a teacher in palace and stay in palace area. She stays close to library and a big room for practicing the knowledge. We called it as laboratory now.
Day by day Syahlah become a very good teacher in the palace. She already read all of the books in the library and the end of the time, she asked to the king, if there’s any other books remaining in the palace.
“Your Majesty, I have read all the books inside palace’s library. I just curious if there’s any other books in this palace. As I know this kingdom is very big and I believe we have another knowledge we should know and I should teach to our people”
The King saw the sky a little time, see his Queen who is busy with her own thinking about the flowers she has and then he said,
“Our ancestor have a library deep under one of this palace building. If you know where is that building, you can go there and read whatever you want”
Syahlah thinking hard about that statement. She think how can the King doesn’t easily let her go there. Why she should found another people’s ancestor legacy hint. But because of she is a curious girl, she tried to find it and finally she found it was under the Queen’s glass house building. After she told that to the King, King looks like so confuse.
In another side he know that the Queen will be so angry if she know people will demolished her garden to find the old library room. But in another side, King want his son, which is Prince Siru become a great King in future which is will affected by the lessons he get from his teacher. As a wise King, then they decide to demolished Queen garden for knowledge’s sacrifice.
In this Kingdom, the most wise person is King. Nobody can replace him as a wise-man. But unlucky his Queen is not so wise like him. His Queen only think about gold, flower, wonderful dress, or another artificial things. And how about their son, Prince Siru? These Price is a combination between 2 people. In other side, Prince Siru is a kind boy. But in another side he is an unstable person. He likes candy too much even candy is not good for his health. But in other side, he used to following whatever his father told to him. Even sometimes he forgot it after found his happiness.
After 1 week demolished Queen’s garden, King replaced it with a new beautiful garden full of beautiful flower and a big water pond. People can see the flower from inside the small boat from the water. King made a very beautiful garden with the help from Syahlah as designer of the garden.
One month after, Syahlah already finished with her garden project and return to her old library. She is so happy to find a huge library with old sculptures inside the King’s ancestor room. She found so many new point of view of the world. And one thing which attract her attention is a space and time book. That is a huge book with so many practicing about space and time research. And in the middle of the book, Syahlah found that they can become an unbreakable kingdom if they can see the future.
The next day, Syahlah come back to King palace and told about her discovery. She told everything to the King and King told her to make the equipment for empower his kingdom soon. Syahlah invite her parents and some of teachers to help her to finish that equipment. She need her parents to share her point of view every day and giving her inspiration. She knows that her mother is a good listener for her and her father is a good support system for her mother. So she needs both of them.
Day by day, month by month until year by years, finally they can finish that project. And for launching they send a maid to the future and he returns back as he is inside that tools. He told everything what he saw in future and he is recommend that tools work so easily and make him see another point of view of the world.
At that time, Prince already being 18 years old. He is mature enough to go for seeing another new world. Actually Syahlah also want to go there, but she should stay in the Kingdom for making sure the maintenance of the tools if something bad happen. So she only can send people and taking back that person as long as they keep another equipment with themselves in future.
So at that day, Prince Siru go to the future world. King and Queen is very sad and remind him to come back safely. They said to Prince to come back whatever happen because this Kingdom need him to grow. They gave the Prince a lot of gold for his expenses in the future world. But they forget to giving him enough knowledge and they just insist Syahlah to send their children even Syahlah already warning them to postpone the process. Syahlah just want to making sure that Prince Siru’s addiction in candy already gone because she doesn’t know what’s in the future. But from the story of the maid before, he told in future life, everything is very easy for him. He doesn’t need do many things as now.
And, the end, they send Prince Siru to the future world. They send this Prince in a huge Kingdom as a part of Kingdom itself. Once Prince Siru reach there, he is very happy because of the modern room he got over there. But unlucky, there’s so many choices of candy, sweet cotton, chocolate and ice cream surrounding him and it makes him deny himself to go back. He throw another space and time tools with him. Then Syahlah, King and Queen can not trace back Prince Siru. Prince Siru is gone for an artificial things which is they can make soon in their real kingdom. He is okay lose his family, his own kingdom and everything just for a ton of candy. Until today, people remember this Prince as Candy Prince. 

By : Yelna Yuristiary

1000 YEARS BACK

I am made by myself from 1000 years back
From the cycle of genetic full inside a pack
From the happiness and tears
From the ego and fears

I am made by them
Who judge me like I always being same
Who disobey my wish and my dream
Who do like to see something based on an achievement

Don't you think world is big
We are only the tiny one but spesific
We have hope in this arena which always chaotic
And will be end with the sense of patriotic

You and me, include them is only a dust
A super tiny object who like to moving in a rush
Who always thinking bigger than ourself
And soon it makes us lose the respect

Now I can say I hate these view
Now I can say I hate these rule which is new
Now I can say that I am free
There's no you or them can take it from me


I'd like to wrote a poem. And you can found my another English Poem on :
https://allpoetry.com/yuristiary.yelna

Friday, August 09, 2019

PEOPLE'S LOVE

In the morning I saw a dew
In the evening I remember a few
Time's moving so fast
Leaving a question with us

Where'd you go my heart's owner
Except in a delusion for going further
I am a girl with a red cape
Brave enough to go and escape

Oh boy who's standing beside me
We are stronger more than a lot of bees
We are similar like a payment and fee
We love each other and sweet like a cup of tea

People's love is kind of mysterious way
In the jungle which full of day
In the dessert and thrown a dust away
People's love is clear than x-ray

People's love is beautiful like a sky



Batam, 9th August 2019
By : YURISTIARY, YELNA

Monday, September 24, 2018

Nenek Moyang Bahasa Indonesia adalah Bahasa Sanskrit

Budaya dan bahasa adalah dua hal yang sangat berhubungan erat. Di Indonesia sendiri kita mengenal begitu banyak bahasa mulai dari bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Padang, bahasa Manado dan masih banyak yang lainnya. Pada postingan ini saya akan membahas 5 kata yang menandakan bahasa Sanskit adalah nenek moyang bahasa Indonesia.

1. Banyak kata dalam bahasa Indonesia yang hampir sama dengan kata yang ada dalam bahasa sanskrit.
Beberapa kata dalam bahasa Indonesia seperti : Bumi (bhumi); Jambu (jamba_kya); Satu (Esa); Raja (Raja); Bahasa (Basha). Beberapa kata ini hampir sama dari pengembangan bahasa sanskrit yang merupakan bahasa tertua di India.

2. Dasar negara Indonesia terinspirasi dari bahasa sanskrit.
Jika kalian cinta Indonesia sudah tentu kalian tahu apa dasar negara kita. Ya, dasar negara Indonesia adalah Pancasila atau Lima Pilar. Panca artinya dalam derivasi bahasa sanskrit adalah Lima.

3. Pedagang India sudah lama berkunjung  dan menyebarkan budaya di Indonesia.
Jika kalian mengingat pelajaran sejarah kita dahulu, tentu kalian sudah sangat paham tentang pedagang-pedagang mana saja yang berkunjung ke Indonesia dan memberikan dampak perubahan budaya bangsa. Adapun bangsa-bangsa tersebut adalah bangsa Arab, India dan Cina. Ini adalah 3 nenek moyang besar bangsa Indonesia.

4. Penamaan mata uang India dan Indonesia hampir sama.
Di film-film India pastinya mata uang rupee kalian pernah dengar bukan? Dari aspek penamaan saja, rupee dan rupiah tidak jauh berbeda dari sisi fonem (bunyi)-nya.

5. Dasar dari kata dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Sanskrit.
Banyak dasar-dasar kata bahasa Indonesia yang awal mulanya berasal dari bahasa sanskrit. Di Jawa, bahasa sanskrit adalah bahasa olden age (bahasa kuno nenek moyang terdahulu). Tidak hanya itu, peninggalan candi-candi hindu dan buddha pun banyak di wilayah ini. Tidak hanya itu, jika kalian pernah dengar kerajaan Sriwijaya/Srivijaya, sebenarnya kerajaan berasal dari India yang dulu sekali rajanya bernama Chandragupta. Nama-nama anak-anak Indonesia juga banyak yang berasal dari India seperti Sri (Shri), Wijaya (Vijay), Wisnu (Vishnu), Dwi (yang dalam bahasa sanskrit artinya dua) dan masih banyak yang lainnya.

Jika kalian pernah dengar bahwa asal usul Buddha merupakan bagian dari kebudayaan India, pastinya kalian juga akan penasaran. Di postingan selanjutnya saya akan bahas lebih jauh tentang ini.

Saya bahas ini bukan karena apa-apa melainkan karena penting bagi kita tahu tentang budaya, darimana kita berasal dan menyenangkan rasanya untuk memahami perkembangan manusia dari waktu ke waktu.

Saturday, September 22, 2018

The Importance of Diary

Good morning my blog reader,

Do you know how much important a diary in your life?

Maybe you'll never know until you facing difficulties in remembering something. Diary I'm discussing here is not diary just for sharing your personal feeling like we have before (at our olden days). Diary I talked about is diary for record our daily activities. This kind of diary will remembering us about all of activities we have to do in a day.

Here I tell you some advantage by using diary as your personal note in your daily life :

1. To set the daily target
For some people set the daily target is really important. When I was in university, I have small diary (pocket diary). I breakdown all of my daily target there everyday. After I finish doing something, I'll cross that word and move to another activities. For some people it is not so important. But for me, I feel happy when I saw all of the list activities already cross at that day. As simple as that.

2. To remember your previous activities
Diary also can be your personal assistant for remembering something. Maybe the simple things you have done yesterday, two days before, or last week you still remember. But for simple things you have done in one month before not all of the person can remember it. So, using diary is the best solution for that. You can remember everything and anything by your diary.

3. To be a prove for something
Some people won't believe if there's no proof. In the working area, all of the words will be nothing if it's not match with the written/paper record. Your diary can be the strength prove while you continously using it. Diary is almost same as the proof in many case of serial killer or kidnap or something like that. So, better you keep your achievement done inside your diary.

4. To make your life easier
Do you ever feel like very difficult to re-think about some case which on-going in your life? Mostly people will helpful with the information from their diary. I never make a research about this, but I feel it in many years of my life. Even I'm still young, 26 years old. Hahaha...

5. To re-check your next agenda
Put your agenda in diary will make your faster in making decision to arrange a meeting or decide something. When people ask to meeting or arrange some important schedule for you or company, the good information from your diary will show you'll available or not in that time.

6. To keep your memories
This is very personal. Diary for keep your memories. Just write down whatever you feel at that time, plus photo and every memories you have inside there. Sure your diary can bring you to the olden time of your life.

7. To decrease Skizofernia
Writing can decrease Skizofernia. Reading also can decrease this syndrome. You can read more article about that here :

http://www.dana.org/Cerebrum/Default.aspx?id=39304

and this :
http://www.dana.org/Cerebrum/Default.aspx?id=39304




Wednesday, August 08, 2018

HOBI MENULIS


Aku sebenarnya nggak punya hobi menulis sama sekali.
Dulu itu pas SMP aku pernah punya teman yang suka nulis puisi. Jadi tuh ceritanya si Via (nama teman aku yang doyan nulis puisi) ini punya buku kumpulan puisi. Karena ngeliat buku itu, terinspirasilah aku untuk buat buku kumpulan puisi juga. The next day aku beli buku tulis baru dan mulai menulis. Hanya saja tulisanku saat itu bukan hanya puisi tetapi juga ada cerpen a.k.a. Cerita Pendek di dalamnya. Cerita pendeknya biasanya aku tulis pas aku dimarahi mama. Biasanya inti cerpen nya itu lebih ke anak pungut yang ditemukan di selokan trus pas anak tersebut sudah besar, si ibu tiri ini kerjanya memarahi anaknya. Entah kenapa pada saat itu di dalam otakku aku adalah anak pungut dari si Ibu Yusni ini. Ha… ha… ha…

Jadi semenjak punya buku kumpulan puisi dan cerpen itu aku kerjanya nulis terus tak henti-henti. Sampai-sampai pernah suatu hari tangan itu sampai pegel nulis cerpen. Ada juga cerpen yang temanya dongeng pangeran katak. Pokoknya kalau di sejajarkan dengan team kreatif dari TV swasta mungkin aku sudah jadi script writer untuk sinetron-sinetron bertemakan fantasi seperti elang terbang, manusia serigala, dan yang lain-lain. Jadi sudah berbulan-bulan aku mulai menulis, hingga di suatu saat aku jadi ingat pelajaran komputer pada saat itu. Jadi itu sekitar tahun 2008 di desa kecil di Kabupaten Kampar, Riau, computer tercanggih yang pernah ada mungkin baru sebatas Komputer Pentium II. Nah, jam pelajaran computer menjadi salah satu pelajaran favorit untukku karena aku bisa mengetik cerpen dan puisi yang aku miliki. Hanya saja, saat itu butuh 1 disket untuk menyimpan 1 file dari data yang aku buat. Sedangkan disket itu harganya dapat dibilang mahal untuk ukuran anak SMP. Jadilah menulis di buku tulis menjadi suatu keharusan.

Di tahun ketiga SMP, aku sempat meminta dibelikan komputer kepada ayah dan ibuku. Waktu itu yang punya komputer di daerah kami hanya 1 orang dan itupun disewakan untuk umum. Biasanya di hari libur aku ke toko yang menyewakan komputer itu, kemudian aku mengetik cerpen dan mulai mengeprint hasil ketikan tersebut. Tanpa di save. Hasil print itu lebih dari cukup. Kemudian, sejak saat itu aku mulai memiliki buku kumpulan karya, ada itu cerpen, puisi. Hanya saja karyanya tidak dapat dipublikasikan karena masih banyak unsur-unsur alay di dalamnya.

Nah, pas aku masuk SMA, orang tuaku membelikan aku laptop. Bersama laptop itulah aku memulai menulis. Kali ini tulisan di buku kumpulan karya tidak lagi menerima cerpen, melainkan hanya puisi. Sedangkan untuk cerpen dan novel aku sudah mulai menulisnya di dalam file. Bersama laptop TOSHIBA itu juga aku mulai memiliki novel pertamaku. Aku mulai menulis dan menulis. Hingga pernah suatu malam aku hanya duduk, menulis, berbaring 5 menit, menulis lagi dan begitu seterusnya. Hingga esok paginya ujian Fisika aku mendapat nilai 55. Ketika guruku bertanya kenapa nilaiku bisa begini, aku cuma bilang kalau malam sebelumnya aku tidak belajar melainkan menulis cerpen. Ada raut kesal sepertinya di wajah bu guru Fisika, tapi apalah dayaku yang sedikit berbeda.
Hingga sebelum aku lulus, salah satu sahabatku bilang, “Ye, kau tetap menulis ya”.

Dan aku tetap akan menulis, tidak sekarang mungkin nanti. Tapi jika kau baca blog ini, kau bisa lihat aku tetap menulis. 😊

Ini tulisan khusus buat Mrs. S.

Thursday, August 18, 2016

ARTIFISIAL YANG BEKU

Aku hanya sebentuk benda yang kasat mata
Tidak hanya berlambang emas dan permata
Namun segala hal yang membuat engkau buta
Orang menyebutku harta, tahta dan wanita

Aku ada di negeri orang-orang kaya
Bicara masalah moral, dia kaya
Bicara masalah budaya, dia kaya
Bicara masalah pendidikan, dia kaya
Bicara masalah agama, dia kaya
Bicara masalah semua hal di dunia, dia kaya
Dia kaya karena banyak gaya

Negeriku penuh dengan orang-orang hebat
Selalu menggunakan trend yang tepat
Selalu tampil dengan cepat
Hingga akhirnya mereka hidup dengan rasa melarat
Kurang ini, kurang itu, kurang bermartabat

Mereka hidup di bawah bayang-bayang palsu
Semua yang melekat pada diri adalah artifisial yang bisu
Tak banyak pengakuan dari orang dari negeri-negeri yang maju
Mereka hanya pandai bergaya dan berlalu
Merasa jengah dengan tampang beku

Aku muak dengan orang-orang di negeri ini
Bangga menggunakan baju dari cap luar negeri
Bangga menganut sistem dan pola hidup yang jauh dari bijak bestari
Bangga menjadi topeng dan membuang jati diri

Aku ingin mereka menjadi aku
Selalu merasa bahagia dengan adanya aku



Batam, 18 Agustus 2016
Untuk orang-orang yang gila gaya

Sunday, January 25, 2015

Ruang dan Waktu ( Space and Time ) --- A poem


Memimpikan merpati tidak bersayap
Sama halnya dengan mengharap semanggi berdaun empat
Berharapkan bintang akan menjadi gelap
Serupa kiranya dengan berpikir matahri akan terbit dari barat
Begitu pula dengan kidung yang kita buat
Tidak hendak berpisah
Namun bertemu saja tak sempat
Tidak hendak gelisah
Senangpun tidak pernah mengecap

Kisah ini adalah bukti takdir begitu kuat
Bukan hanya terbatas oleh ruang dan waktu
Melainkan juga segala prasyarat
Bukan hanya terlambat bertemu
Namun untuk jauh pun kita tak pernah dekat

Kisah ini bagaikan orang yang tersesat
setelah sebelumnya amnesia
Tidak hanya sempat berucap
karena sudah terpisah sebelum kehidupan menginjak usia
Kita memang terpisah segalanya
Bukan hanya ruang dan waktu
Tetapi sejak awal kita melangkah

------- English Version --------

Dreaming about dove doesn't have a wing
It similar with a hope of clover with four leaf
Hoping stars will be darkened 

It similar with the sun will rise from the west
It's same with our hymns that we made
It's not break
Because it never meet
It's not to be restless
Because it never to be happy

This story is an evidence that the powerfull of destiny
Not only limited by space and time
But also all the prerequisites
Not only about a late converge
Because we never ever be too close

This story is like a man who lost
after he got amnesia
Not only had time to utter
because already separated before the age of life
We did everything apart
Not only limited by space and time
But from the beginning we took a step

Sunday, January 18, 2015

ADAKALANYA

Terkadang bukan hujan yang akan datang
Melainkan lebih angin topan yang mengguncang
Terkadang bukan arus lembut yang bertandang
Melainkan ombak ganas yang menghantam dengan garang
Aku dan kau tak pernah tau kapan kita berkenalan
Tidak juga tau kapan hujan akan menjadi teman
Hingga waktu menjawab semua pertanyaan
Tentang kita dan segenap perasaan

Adakalanya malam menjadi tuli
Tak mendengar dengan mata hati
Adakalanya pagi tidak lagi sepi
Karena penuh dengan kasak kusuk orang yang takut terhenti oleh mati
Adakalanya aku dan kau tidak sehati
Meskipun alur hidup menunjukkan kita sahabat sejati
Adakalanya kau akan kembali
Ketika kapalku telah menepi dan kota ini telah mati


Depok, 18 Januari 2015
di sela-sela aktifitas mengetik novel 'Syahlah'

Thursday, December 04, 2014

PAYUNG

Malam ini bersama tuts-tuts keyboard yang sangat ingin diperhatikan
Sekejap-sekejap aku lihat bayanganmu di sudut laptopku
Bukan gambar muka apalagi pose yang malu-malu mau
Hanya coretan-coretan kecil dengan senyuman tipis yang ambigu
Kau...
Bukan selimut di kala dingin datang
Bukan juga sepatu yang menemaniku untuk berjalan
Bahkan bukan juga tas ransel yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi
Kau adalah payung,
yang datang di saat yang tepat
Memberi perlindungan dengan perkasa,
melindungi anak-anak rambutku agar tidak basah
Melepaskan bulir-bulir hujan yang hendak jatuh,
yang dapat membikin flu

Kau datang hanya di satu-satu waktuku
Tidak sering namun perlu
Tidak lengkap rasanya hidupku tanpamu
Tidak juga bahagia aku bermain hujan jika kau tidak mau

Terkadang aku ingin hujan selalu datang
Agar ada alasan untuk kita bergandengan


Depok, 4 Desember 2014
 

Tuesday, May 20, 2014

Surat dari Ibu untuk Salo



23 Mantani 13101
Hidupku bersama Solomon terasa sangat bahagia. Hari ini lahir anak pertamaku. Bayi ini kami beri nama Tugev. Tugev adalah seorang bayi laki-laki bermata biru dengan kulit yang cerah. Rambutnya sedikit pirang seperti ayahku. Aku harapkan Tugev menjadi anak yang kuat dan dapat melindungi kami.

1 Seura 13101
Tugev masih saja belum sembuh. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sesaat Tugev kejang-kejang dan mata birunya menghitam. Adakah salah kode binary yang diciptakan Solomon? Apakah ada kerusakan sistem imun Tugev? Atau badai besar yang kembali menyerang membawa virus yang tidak kami ketahui. Aku berharap Tugev kembali tersenyum.

29 Umholi 13101
Tidak terbayangkan olehku bahwa Tugev telah pergi. Tiada lagi pangeran hatiku. Aku kosong dan tiada berarti.

20 Mope 13105
Penantian kami berbuah sudah, Tugev kecil kembali. Tugev kini bukan lagi seorang bayi laki-laki. Ia perempuan. Kelak aku namakan dia Salo.

4 Tenggi 13106
Bayi kecilku sudah lahir. Salo-ku bermata biru, sama seperti Tugev, anak lelaki pertamaku yang meninggal 10 hari setelah dilahirkan. Ia lincah dan rambutnya lurus sedikit ikal, warnanya hitam. Salo kecilku suka tersenyum. Setiap kali aku melihat senyumnya, entah mengapa hari-hariku serasa lebih lama. Rasanya tidak ada kekacauan seperti saat ini.

Entri Populer