Angin
malam berhembus dari sela dedaunan rimbun samping halte asrama UI. Aku masih
duduk menunggu bikun yang kelak akan mengantarkanku ke Fakultas Teknik. Tidak banyak
orang di halte ini, hanya cukup untuk membentuk satu tim voli saja. Dua pria
termasuk aku, satu ibu-ibu beserta suaminya dan dua mahasiswi yang tertawa
berisik sambil bercanda dengan temannya. Kuhela nafas berat, sedikit kecewa
karena bikun yang kutunggu masih belum terlihat tanda-tanda keberangkatannya.
Bapak sopir yang bertugas mengendarai pun seolah hanyut bersama alunan lagu
dangdut yang menemani mereka, lengkap dengan sekuteng hangat di malam-malam
yang dingin seperti ini.
Tak lama ponselku bergetar,
“Halo”, kusapa datar orang
di seberang sana.
“Tin, sudah dimana? Jangan
lupa bawa kertas milimeter block ya”,
Mayudin, si ketua kelompok otoriter itu mulai beraksi.
“Di halte asrama. Iya”.
KLIK.
Bergegas
aku kembali ke dalam pagar asrama, menuju kantin. Membeli milimeter block, terpaksa setuju menjadi jongos Mayudin untuk sementara waktu. Saat itu pukul 06.00 malam, sesudah
magrib, ketenanganku terusik saat Mayudin mengirimkan sms seenaknya,
Dear
kelompok 5, malam ini kita mulai membuat pemetaan di kantin teknik lantai 2.
Kumpul di gazebo jam 8. Tidak datang berarti nama kalian siap untuk diputihkan.
Entah
sejak kapan Mayudin kami percaya untuk menjadi ketua kelompok. Namun, jika
dipikir lagi, kenyataan ini memang berawal dari sikap kami yang acuh terhadap
tugas Bu Yanti. Tak ayal lagi, si Mayudin yang suka cari perhatian kepada
beliau dipilih menjadi penanggung jawab kelompok 5, kelompok kami.
Buum...
Buum... Deru mesin bikun memanggilku agar mempercepat transaksi jual beli milimeter block. Kumasukkan kertas itu
ke dalam tas kuning transparan yang berisi penggaris siku dan pensil mekanik.
Aku ambil kembalian dari Mas Dudi secepat kilat dan berlari menuju bikun yang
tengah berjalan lambat, seolah menunggu seseorang. Jarakku tidak jauh dari
pintu belakang bikun. Namun sepertinya deru mesinnya tidak dapat dihentikan.
Pak sopir dari bikun ini pun terlihat tidak melihat atau pura-pura tidak
memerhatikan bahwa masih ada penumpang yang ingin naik ke bikunnya.
Tertatih
aku melangkah, berharap bikun yang penuh itu berhenti dan sekedar membuka pintu
belakangnya barang semenit. Tapi ternyata jauh arang dari api, bikun tetap
melaju meninggalkanku yang sudah mulai kelelahan berlari-lari kecil hingga
sampai di depan warung Mang Engking. Kutatap bagian belakang bikun itu,
sepertinya hanya satu dua orang yang masuk ke dalamnya. Sayang sekali, pikirku.
Kubalikkan
badan kembali menuju halte asrama. Kelima orang yang sebelumnya menjadi temanku
menunggu bikun kini telah pergi. Halte asrama telah kosong, yang tersisa hanyalah
tempat duduk beton yang dilapisi keramik berwarna kuning dengan tempelan
selebaran di bagian dindingnya. Seminar Hari Air, Job Fair, Mentoring Ikhwan,
Lomba Kreasi Puisi FIB, Lowongan Mengajar, dan masih banyak yang lainnya. Lampu
remang yang tertanam di langit-langit atap halte kini telah dikelilingi laron
yang terbius dengan cahaya, meskipun itu sepercik.
Dengan
langkah gontai aku menaiki trotoar dan kembali duduk di tengah halte. Sengaja
memilih posisi di tengah, duduk, menyandar. Kesal dengan Mayudin yang telah
menyebabkan aku harus berbalik ke kantin asrama lagi dan tertinggal bikun.
Sendal jepit yang kukenakan kini terasa sedikit hangat karena dibawa berlari
mengejar bikun tadi. Kulepas, kuangkat kakiku dan bersila di atas bangku halte,
berharap bebas dari suntikan-suntikan serangga kecil yang tak beradab, nyamuk. Masih
15 menit lagi hingga bikun selanjutnya jalan. Akupun menguap.
Rasanya
sudah lama aku menunggu bikun di halte ini, namun lagi-lagi tanda keberangkatan
tak kunjung datang. Anehnya dari tadi hingga sekarang tidak ada anak asrama
yang hendak keluar, ke UI. Halte yang sebelumnya ramai pun mulai terasa sepi,
tidak ada tawa kedua gadis yang tadi. Tak ada juga obrolan sepasang ibu dan
bapak yang sepertinya hendak akan makan di luar. Kulirik jam tangan Q&Q
pemberian mama tiga bulan yang lalu, sudah 08.14, pikirku.
Tinggal
satu menit lagi hingga bikun selanjutnya datang dan mengantarkanku ke Fakultas
Teknik, bertemu kelompok 5, bertemu ketua yang otoriter. Semoga saja Mayudin
tidak lagi memintaku membelikan ini itu di menit-menit seperti ini. Tanpa
menunggu lama, sorot lampu bikun memecah gulita yang ada di sekitar halte. Deru
mesin pun mulai bergemuruh memberi harapan bahwa sebentar lagi aku akan
berangkat. Pak sopir yang tadinya duduk-duduk di balai tongkrongan pun bergegas
menyeruput kopi yang entah masih panas atau sudah dingin karena tercampur angin
malam yang mampu membuat alam sekelilingnya beku. Pak Karto, melangkah cepat ke
arah bikun, ambil kendali dan menutup pintu bikun.
Buum...
Buum... Mesin bikun kembali menderu, namun kali ini deruannya sedikit lebih
bersahabat. Memberi instruksi kepada kita untuk masuk. Bikun dengan simbol
merah yang menandakan bahwa terlebih dahulu akan melewati Fakultas Hukum
berhenti tepat di depan halte asrama, membukakan pintu dan akupun masuk.
Melangkah, riang.
“Terimakasih, Pak”, lirihku
kepada Pak Karto.
Aku
duduk tepat di belakang Pak Karto. Tempat yang strategis untuk cepat keluar
dari bikun serta mengetahui siapa saja orang yang akan naik bikun. Siapa tahu
nanti aku akan bertemu Kiki, Gilang dan Raden, temanku di kelompok 5. Tidak ada
orang lain selain aku yang naik ke bikun ini. Entah karena ini malam Jumat
malam, waktunya orang-orang pulang ke rumah masing-masing atau karena waktu
sudah menunjukkan jam 8 malam. Waktu yang cocok bagi setiap orang untuk tetap
berada di kamar, mengerjakan tugas, menonton drama Korea, bernyanyi-nyanyi
sendiri atau sekedar tidur cepat untuk mempersiapkan energi untuk esok hari.
Energi untuk jalan-jalan di akhir pekan. Sedangkah aku, kembali harus ke
kampus, menyelesaikan tugas besar dengan si ketua otoriter, Mayudin.
Bikun
melaju kencang hingga tiba di halte Gerbatama. Di halte ini tidak banyak yang
masuk. Seorang ibu dan anaknya serta seorang gadis dengan rambut panjang sebahu.
Dalam keremangan lampu bikun kulirik wajah gadis tinggi semampai ini. Mukanya
terlihat mulus, namun sedikit menunduk. Mungkin karena lagi malas untuk kembali
ke kampus juga, pikirku.
Pak
Karto kembali memacu bikunnya. Saat ini bikun yang hampir kosong melompong ini
melewati kawasan UIwood. Kawasan yang cukup horor di dalam situs-situs horor
kampus seantero Indonesia. Konon di dalam salah satu situs yang pernah aku
baca, kawasan ini dipenuhi dengan mahluk-mahluk yang tidak kasat mata. Jika
membayangkankan, entah mengapa bulu kudukku bergidik sendiri. Ah... Sudahlah,
pikirku.
Tiba-tiba
dari arah pagar pembatas jalan, seorang kakek tua melompati pagar. Entah dari
mana ia berasal, baju koko putih, sarung lusuh dan peci hitam. Celingak
celinguk di jalan dan tiba-tiba berlari ke depan bikun yang tengah melaju
kencang. Tak ayal lagi Pak Karto terkejut setengah mati. Niat hati ingin
mengerem, entah kenapa jadinya malah tambah menginjak pedal gas. Bruuk... Kakek
itu terlindas ban bikun. Sempat kurasakan ban bikun melindas tulang atau apapun
dari bagian tubuh kakek itu. Rasanya seperti lewat di jalan berbatu. Kulihat
wajah Pak Karto pucat pasi. Tangannya gemetar. Suasana bikun hening, serasa
aura kehidupan tidak lagi ada di dalam bikun ber-AC ini. Aku lirik ibu dan anak
yang berada tidak jauh dariku tadi, mereka hanya memandangiku. Entah apa arti
tatapannya, sekilas terlihat senyum sinis di wajah sang ibu. Mukanya pun
terlihat putih sekali, menyeramkan. Kulirik gadis dengan rambut sebahu yang
dari tadi menunduk, perlahan ia menegakkan kepalanya. Aku terkesiap. Ternyata
wajahnya tidak secantik yang aku bayangkan. Penuh bopeng dan darah segar
mengalir dari sudut-sudut bibirnya.
“Yan... Yanda...”, si gadis
memanggil namaku.
Seketika
aku terkesiap, mengucek-ngucek mata yang semakin aku kucek terlihat semakin
buram. Cahaya di sini tidak lagi seburam cahaya bikun yang tadi. Pandanganku
menyapu setiap hal yang ada di dekatku. Meja belajar yang apik dengan susunan
buku mekanika, kipas angin, lemari kayu, jemuran baju, tempelan tim bola
kesayanganku dan jam dinding dengan merk bank lokal ternama. Di sebelahku kini
ada Farid, memanggil sambil bermain DOTA di laptopnya. Kulirik jam dinding
dengan merk bank itu, pukul 08.10 malam. Sudahlah. Aku izin tidak bertemu
Mayudin, si ketua otoriter itu dulu. Tak perlu keluar dulu malam ini, pikirku.
Keterangan:
Bikun: bis kuning yang merupakan alat
transportasi khusus wilayah Kampus UI.