Bertolak
dari Pulau Bengkalis (Kepulauan Riau), sejauh mata memandang, satu hal yang
dapat kita lihat adalah kumpulan daratan yang membentuk pulau-pulau kecil dan
jika kita terus menyapukan pandangan hingga ke sebelah barat, pasti akan kita
temukan daerah yang dinamakan Bukit Batu. Penamaan daerah ini bukan berasal
dari kondisi tanahnya yang berbatu atau asal usul sejarah yang ada di dalamnya.
Nama Bukit Batu sudah ada sejak dulu, sebelum kedatangan bangsa Portugis ke
Malaka. Bukit Batu sendiri merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan
Sungai Pakning, Bengkalis (Riau). Jika dianalisis dengan menggunakan parameter
modern, Bukit Batu termasuk daerah yang sangat tertinggal karena hingga saat
ini sarana listrik belum memasuki desa kecil yang terletak tepat di muara
Sungai Siak ini.
Namun,
bukan Melayu namanya jika penduduknya hanya akan berduka. Desa Bukit Batu ini
dihuni oleh sejumlah penduduk yang sangat bersahaja dan bersyukur dengan segala
yang ada. Jika dicermati lebih dalam, tentunya desa ini dapat menjadi salah
satu tujuan wisata tempo dulu bagi ‘orang-orang modern’ yang mayoritas
mendapatkan segalanya, di kota.
Alam
Bukit Batu begitu beragam dan penuh kejutan di setiap sisi desanya. Desa Bukit
Batu terbagi menjadi dua, yakni Bukit Batu darat dan Bukit Batu laut. Tepat di
tengah-tengah desa ini terbentang jalan lintas Dumai-Pekanbaru yang biasanya
dilintasi truk-truk pengangkut hasil bumi. Wilayah Bukit Batu darat terletak di
sebelah barat jalan raya tersebut, sebaliknya wilayah Bukit Batu laut terletak
di sebelah timurnya. Bukit Batu saat ini belum terlalu di kenal sebagai tempat
pariwisata resmi daerah Riau, namun alam dan kondisi wilayahnya menunjang
daerah ini menjadi tempat wisata tempo dulu karena bangunan, tradisi hingga
kebiasaan masyarakatnya masih menganut pola-pola tradisional Melayu Riau. Di
desa ini sebenarnya ditemukan cukup banyak peninggalan sejarah Melayu Riau,
mulai dari rumah panggung Datuk Laksmana, yaitu seorang pelaut dan pemimpin
yang sangat ahli dalam bidang pelayaran di masa lalu, kelenteng Cina sebagai
bukti bahwa di daerah ini banyak dihuni masyarakat Tionghoa hingga kerajinan
tenun khas Melayu Riau. Jika kita sempat berkunjung ke Riau, tentunya kita
harus mengunjungi daerah Bukit Batu dan sebaiknya menetap selama tiga hari
hingga satu minggu lamanya agar dapat menikmati segala panorama alam dan
tradisi masyarakat lokal di sana.
Di
desa Bukit Batu terdapat tiga pantai besar yang terkenal karena masih alami.
Salah satu pantai yang sangat memesona kalangan wisatawan adalah pantai
Tenggayun yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan dari pusat desa. Di pantai
Tenggayun kita akan menemukan pemandangan yang sangat memukau, khususnya jika kita
berkunjung di kala senja tiba. Dari pantai ini kita dapat menikmati matahari
tenggelam di cakrawala. Tepat di bibir pantai kita akan menemukan hutan bakau
yang masih alami, terdapat satu dua batang pohon bakau yang sudah tidak berdaun
dan sangat cocok dijadikan objek fotografi. Tidak jauh dari pantai Tenggayun, kita
dapat mengunjungi pusat pembuatan kerupuk ikan yang merupakan salah satu
oleh-oleh khas Bukit Batu. Kerupuk ikan ini dibuat dari ikan tenggiri yang
sangat melimpah ruah di daerah Bukit Batu. Rata-rata wanita di Bukit Batu
adalah seorang pembuat kerupuk ikan yang handal. Kerupuk ini terbuat dari
campuran sagu, air dan gilingan ikan tenggiri yang merupakan kekayaan laut
wilayah Bengkalis. Harganya pun tidak mahal, dengan uang Rp 10.000,- kita sudah
dapat membawa pulang setengah kilo kerupuk ikan kering asli Bengkalis Riau. Di
Bukit Batu, jangan heran jika kita menemukan produk kerupuk ikan yang dijemur
di depan rumah-rumah warga. Hampir 90% penduduk desa Bukit Batu mampu membuat
kerupuk ikan. Kerupuk ini juga menjadi menu wajib di desa Bukit Batu.
Secara
geografis, wilayah Bukit Batu terletak di muara Sungai Siak sehingga mitos
terkait buaya muara masih sangat kental di daerah ini. Jika kita berkunjung ke
Bukit Batu, di sana masih terdapat pantangan-pantangan yang tidak boleh kita
lakukan seperti duduk melonjorkan kaki ke arah air atau sungai dan mengucapkan
kata ‘buaya’ di dekat sumber air, seperti sungai maupun muara sungai. Penduduk
setempat masih memercayai bahwa di sungai maupun muara sungai wilayah Bukit
Batu masih terdapat buaya-buaya liar yang akan mengganggu jika pantangan ini
dikerjakan. Selain itu, bagi para pelancong biasanya dilakukan acara
penyambutan oleh masyarakat desa dan mereka akan diberikan wejangan untuk tidak
bersikap seenaknya di kawasan Bukit Batu. Pantangan lain selain duduk melonjor
dan mengeluarkan kata ‘buaya’ di dekat sungai adalah mengeluarkan kata-kata
kotor atau berucap kalimat yang tidak sepantasnya. Setiap pelancong juga
biasanya dilarang untuk terlalu berpendapat terhadap hal-hal aneh yang
dilihatnya.
Seperti
kisah sampan karam yang menghilangkan satu anak SMA beberapa tahun yang lalu.
Menurut penuturan salah seorang penduduk desa, ketika itu terdapat satu
rombongan siswa/i SMA yang hendak pelesir ke Pulau Bengkalis dan mereka
menyeberang selat dari Bukit Batu. Adapun satu dari siswa/i ini melihat adanya
perbedaan antara air muara sungai dan air laut, siswa itu pun mulai berteriak
kepada teman-temannya tentang fenomena alam ini. Tanpa disadari ia pun
mengeluarkan statement bahwa air itu
seperti kue lapis yang memiliki warna yang berbeda. Orang-orang di sampan pun
mulai takut hingga tak lama setelah itu sampan kayu yang membawa mereka
menyeberangi selat terhenti di tengah laut dan karam. Tak lama setelah itu bala
bantuan datang, namun naas bagi siswi
yang mengatakan bahwa air seperti kue lapis tersebut, jenazahnya tidak pernah
ditemukan hingga sekarang. Sedangkan penumpang lain termasuk teman-temannya
selamat dalam musibah itu.
Meskipun
menyimpan misteri yang cukup besar, namun daerah Bukit Batu memiliki dua daya
tarik yang luar biasa. Pertama, wilayah ini menjadi pusat peninggalan kerajaan
Melayu Riau, tidak jauh dari muara sungai terdapat makam Laksmana Raja Dilaut
dan rumah panggungnya. Makam ini sering dikunjungi oleh orang-orang yang
penasaran dengan kehebatan Datuk Laksmana dalam mengarungi bahtera di tengah
laut. Tepat di atas makamnya terdapat satu kayu yang konon berasal dari
serpihan tiang perahu lancang kuning (perahu asli khas Riau). Tidak jauh dari
makam, terdapat rumah Datuk Laksmana yang di dalamnya tertinggal berbagai
kenangan Datuk Laksmana seperti baju dan beberapa peralatan khas seorang
pelaut.
Sekitar
lima menit berjalan kaki dari makam dan rumah Datuk Laksmana, kita juga akan
menemukan beberapa perempuan yang sedang menenun. Pada umumnya rumah mereka
berbentuk rumah panggung yang lantainya cukup tinggi sehingga bagian bawah
rumah dapat digunakan sebagai tempat menenun. Pemandangan wanita penenun di
Bukit Batu dapat kita jumpai dengan mudah. Umumnya mereka menenun sambil
bercerita bersama handai taulan yang ada. Mengobrol atau berbual sambil
menghabiskan waktunya di rumah merupakan sebuah adat bagi masyarakat Melayu
Riau. Wanita-wanita ini cenderung melakukan hal yang sama, mereka akan
berkumpul setelah mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci dan
membersihkan rumah. Biasanya mereka akan menghabiskan waktunya untuk menenun sambil
bercerita dengan tetangga dan handai taulan yang ada hingga sore tiba. Tetak
alat tenun juga tak kalah menimpali suara bualan mereka. Biasanya satu kain
tenun selebar 3 x 2 meter dapat mereka hasilkan selama 3 hari. Harga kain tenun
buatan tangan ini pun cukup terjangkau, yakni Rp 250.000,- per helainya. Sekali
dalam setahun biasanya wanita-wanita penenun dari Bukit Batu diundang oleh
pemerintah daerah untuk mengikuti pelatihan menenun dan memasarkan produk
tenunannya. Seringkali mereka mendapatkan omset dari pameran yang juga
dilaksanakan sekali dalam setahun di ibukota Provinsi itu.
Jika
kita berkunjung ke Bukit Batu, ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk
menikmati liburan yang kita lakukan.
1.
Tinggallah di rumah warga.
Tinggal
di rumah warga merupakan suatu hal yang sangat wajar kita lakukan karena di
wilayah ini belum terdapat hotel atau penginapan. Biasanya di Bukit Batu, ada
warga yang memiliki dua rumah atau lebih yang biasanya disewakan kepada
pendatang yang ingin menginap. Akan lebih baik jika kita tinggal bersama tuan
rumah karena pada umumnya warga Bukit Batu sangat ramah terhadap pendatang.
Kemukakan maksud kita mengunjungi Bukit Batu dan tentu saja kita harus
memberikan uang belanja kepada keluarga ini untuk biaya makan selama berada di
sana. Dengan tinggal di rumah warga, kebutuhan makan kita akan tercukupi dan kita
akan lebih mengenal budaya masyarakat Melayu secara lebih baik. Jika beruntung,
di Bukit Batu kita akan menemukan warga yang akan menjadikan kita seperti
keluarganya sendiri. Tentu saja ini bergantung pada sikap kita membawa diri.
2.
Usahakan turut aktif dalam setiap
kegiatan warga.
Jika
kita datang ke Bukit Batu hanya untuk bersenang-senang dan menghindari
sosialisasi, sebaiknya urungkan saja niat itu. Turut aktif dalam setiap
kegiatan warga merupakan salah satu kunci menemukan harta karun kebudayaan
Melayu Riau. Jika kita turut aktif dalam setiap kegiatan warga, kita akan
diajak mengikuti latihan marawis (musik
tradisional Melayu Riau) di malam Selasa. Tidak hanya itu, kita akan
mendapatkan undangan-undangan acara adat di kampung ini jika kita pandai
bergaul dengan warga yang ada di sana. Tentu saja hal ini sangat menyenangkan.
Bagi yang perempuan, kita biasanya akan diajarkan bagaimana cara menenun dan
membuat kerupuk ikan khas Melayu. Ahh... Sungguh pengalaman yang teramat
langka.
3.
Bertemanlah dengan masyarakat.
Tak
kenal maka tak sayang. Agaknya pepatah itulah yang melingkupi kehidupan
masyarakat Melayu di Bukit Batu. Jika kita berteman baik dengan masyarakat, kita
akan meendapatkan banyak keuntungan seperti teman baru dalam mengeksplor
kekayaan alam dan tempat-tempat wisata yang belum terjamah oleh turis-turis yang
datang. Penduduk asli Bukit Batu juga tidak akan segan memberikan kita kelapa
muda gratis, pinjaman motor gratis atau tumpangan sampan gratis ketika kita
sudah berteman dengannya.
4.
Sewa motor.
Jika
kita tidak mendapatkan pinjaman motor, kita dapat menyewa motor penduduk untuk
berkeliling desa Bukit Batu. Tarif yang dikenakan juga tidak mahal, sekitar Rp
50.000/6 jam. Tentu saja kita dapat mengunjungi banyak kawasan budaya yang ada
di desa ini dengan bebas.
5.
Sediakan power bank.
Bukit
Batu merupakan daerah yang saat ini masih belum terjangkau oleh aliran listrik.
Pada umumnya listrik dari genset masyarakat
akan dihidupkan pukul 6 sore hingga 10 malam. Di atas jam 10 malam biasanya
lampu listrik dan genset akan dimatikan. Pada saat itu penduduk mulai
menggunakan lampu minyak atau petromaks untuk penerangan. Sensasi tempo dulu
dan jauh dari peradaban modern akan sangat terasa di waktu-waktu seperti ini. Kita
hanya akan mendengarkan bunyi jangkrik di malam yang sunyi. Tentu saja bagi kita
yang tidak pernah mengalaminya, kondisi ini cukup mencekam. Namun tenang saja,
hal ini adalah salah satu paket wisata tempo dulu yang ditawarkan desa Bukit
Batu kepada para pengunjungnya. Oleh karena itu, bagi kita yang sangat
bergantung dengan smartphone, power bank dapat menjadi satu-satunya
penyelamat kebosanan ketika mata belum hendak akan tertidur.
6.
Siap sedia dengan kamera.
Perjalanan
wisata tempo dulu dan budaya Melayu Riau tidak akan terekam jelas bagi kita
tanpa adanya gambar abadi yang kita ciptakan. Oleh sebab itu, ketika berkunjung
ke Bukit Batu, persiapkan kamera dan space
yang cukup untuk menyimpan segala kenangan kita tentang daerah, budaya,
alam dan kebiasaan masyarakat Melayu Riau ini.
Dengan beberapa tips
dan gambaran tentang desa Bukit Batu di pedalaman Riau ini semoga para turis
dan pelancong yang akan berkunjung dapat mempersiapkan bekal yang cukup ketika
akan mengunjungi desa bertuah peninggalan Datuk Laksmana Raja Dilaut ini.
Meskipun terpencil, desa ini sarat akan suasana alam serta budaya yang damai
dan tenang di tengah hiruk pikuk perkotaan yang semakin hari semakin tidak
terkendali ini.
---
ooo OOO ooo ---