... hidup memang tidak seperti
hidup
Aku memang bukanlah aku
Camar-camar yang terbang tidak
lagi hendak akan hinggap
Karena musim hijrah sejatinya
tak pernah beku
Angan-angan pengharapan memang
saling menatap dan terungkap
Percayalah kawan, mimpi itu
semuanya semu...
(Malam
Bersama Angan –Yelna Yuristiary, 2013)
Kakiku masih
menekuri tanah kering yang sedikit retak karena tengah dilanda kemarau. Balai
bambu yang kududuki kelihatan sudah tua dan rusak di bagian atapnya. Bagi
anak-anak seumuranku, balai bambu ini sangat cocok dijadikan tempat tidur
siang, tentunya dengan tambahan sebuah bantal di sisi kepalanya. Namun tidak
bagi orang dewasa. Kaki mereka tentu tidak akan cukup sehingga mungkin nanti
akan menjuntai di salah satu ujung balai-balai ini.
Tepat di bagian atas balai yang ditutupi daun rumbia kering
berwarna cokelat tua, terlihat seekor nyamuk yang terperangkap bingung. Hendak
terbang keluar dan melepaskan dari atap balai yang mengerucut ke atas, tetapi
sepertinya nyamuk ini kehilangan arah. Ia hanya berputar-putar dan terkadang
seperti menabrak atap rumbia yang sudah bolong-bolong di beberapa sisinya itu.
Sinar matahari yang terik memasuki lubang-lubang itu dan membentuk garis lurus
hingga menimpa beberapa bagian bawah balai. Tidak panas, pikirku. Aku merasa
sedikit melayang-layang tertiup angin sepoi yang berhembus menyelinap ke bagian
bawah atap balai. Mamak yang tadinya tengah membersihkan ikan yang baru saja
ditangkap Bapak sudah masuk ke rumah. Bau amis masih tertinggal di halaman.
Poni, si kucing belang kesayanganku terlihat bahagia dengan jatah insangnya di
siang itu. Aku memejamkan mata, menikmati angin, menikmati bau amis ikan,
menikmati wangi putik jambu yang terkadang serbuknya terbang dibawa angin.
Seketika, mobil jeep
hitam menerobos halaman barak kami. Deru mesinnya mengaum sebelum tiba-tiba
mati dan meninggalkan kepulan debu di jalan pasir yang ia lewati. Dari dalam
mobil keluarlah tiga orang pria lengkap dengan rompi hitam yang bertuliskan
ANT. Ant? Semut? Tidak mungkin pikirku. Bergegas pria-pria ini menghampiriku
yang tengah beristirahat di balai.
“Mana Bapak?” tanya pria pertama yang memiliki perawakan
sedikit lebih tinggi dibanding dengan kawan-kawannya.
“Om siapa?” aku kembali bertanya.
“Sudah. Jawab saja. Mana bapakmu,” serang pria kedua yang
badannya gempal seraya mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku celananya.
Mendadak nyaliku ciut. “Di dalam,” kujawab sekadarnya.
Setelah kujawab pertanyaan itu, kedua pria tadi pun segera bergegas
masuk. Tidak sopan, pikirku. Tidak ada berucap salam, apalagi mengetuk pintu.
Sedangkan aku ditemani oleh pria ketiga yang wajahnya paling tampan di antara
dua teman-temannya. Hanya saja ia tak cukup manis karena malah menyorongkan
pisau lipatnya di punggungku. Dingin. Akupun kaku karenanya.
Tidak lama berselang, terdengar suara gaduh di dalam barak
kami. Tapi anehnya tidak ada suara Mamak dan Bapak. Entah kemana mereka,
pikirku. Pintu sederhana barak yang berwarna putih itupun aku pandangi sambil tetap
duduk kaku bersama si pria nomor tiga ini. Terdengar juga pecahan kaca di dalam
barak. Entah kaca apa. Kaca piring, kaca lemari, cermin atau apalah. Yang pasti
bukan kaca mobil. Ya... Kami tidak memiliki mobil. Satu-satunya kendaraan yang
selalu digunakan Bapak adalah sepeda ontel tua dengan stang yang sudah karatan
yang teronggok di sudut halaman barak.
Tak lama setelah bunyi pecahan kaca itu, kedua pria tadipun
keluar dengan muka yang kusut. Kecewa dan merasa dipermainkan. Setidaknya
ekspresi itu yang aku tangkap dari raut dan gerak gerik mereka.
“Nggak ada?” tanya si pria nomor tiga.
“Sialan. Dia kabur. Jual aja anaknya,” jawab si pria nomor
satu.
Bergegas pria nomor dua dan tiga memboyongku ke jeep mereka. Mulutku dibekap. Aku
meronta hebat. Kedua tanganku diikat di depan. Lima menit meronta, akhirnya aku
merasa kelelahan. Diam. Menuruti semua perkataan mereka. Masuk ke mobil. Duduk
di jok paling belakang bersama lelaki nomor tiga. Lelaki yang paling tampan.
Mobil melesat pergi meninggalkan barak kami. Tidak ada
satupun tetangga yang sekadar melongok siapa yang baru saja datang dan pergi.
Apalagi keluar rumah. Mungkin mereka sedang tidur siang, pikirku.
Pohon-pohon ketapang di sepanjang sisi jalan dahannya
meliuk-liuk dihembus angin segar. Daunnya berdebu, kotor. Mobil jeep yang kami tumpangi naik turun
karena adanya beberapa bagian jalan yang berlubang. Sepanjang jalan juga masih
lengang. Hanya ada mas-mas penjual sayur di pertigaan depan yang sibuk mengemasi
barang dagangannya. Sepertinya ia juga tidak peduli dengan mobil jeep yang sebentar lagi akan
melewatinya.
Selangkah lagi menuju gerbang keluar asrama, mobil kami
akan berhenti di pos jaga. Sebelumnya lelaki nomor tiga menutupiku dengan
selimut kumal yang bau. Dia bilang aku harus diam. Perintahnya kali ini
disertai ancaman dengan pisau lipat yang mengkilat ditimpa cahaya matahari. Aku
pun hanya diam di dalam selimut bau. Mobil menurunkan kecepatannya perlahan. Si
sopir yang juga merupakan lelaki pertama menyapa si satpam di pos jaga. Ada
sedikit tawa sepertinya antara mereka berdua.
Mobil kembali melaju kencang seperti kereta api tanpa rem
yang akan melindas apa saja yang mencoba menghalanginya. Jalanan berlubang pun
tidak lagi dipedulikan. Aku masih berada di dalam selimut bau. Kepalaku pegal
karena tertekuk. Aku menggeram, memberi tanda bahwa aku lelah. Si lelaki nomor
tiga menarik selimut itu. Tersenyum, manis. Aku tak habis pikir, mengapa lelaki
setampan ini malah menjadi penjahat, si penculik anak.
Lewat kaca mobil yang buram dan berbaret halus, aku
menerawang ke luar. Tempatnya sudah berbeda, pikirku. Tidak ada lagi pohon
ketapang, kedai kopi sekitaran asrama ataupun sekolahku. Tempat ini sepertinya
lebih jauh dari tempat-tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Tidak ada
juga rumah-rumah di sepanjang jalan. Yang ada hanya perkebunan sawit yang
gersang. Satu dua pohon tengah berbuah. Ada juga beberapa tandan sawit yang
telah siap dipanen sepertinya. Aku kembali melihat ke depan. Jalanan juga sepi.
Di kejauhan terlihat sepasang suami istri yang sepertinya baru pulang dari
berkebun.
Mobil jeep belok
kanan, menuruni jalan tanah yang tidak beraspal. Di belakangnya mengepul debu
yang niscaya memicingkan mata siapa saja yang berusaha membuntutinya. Sekitar
200 meter dari persimpangan jalan tanah tadi, akhirnya kami berhenti di sebuah
pondok kecil. Pondok ini terbuat dari anyaman bambu yang cukup rapi. Atapnya
ditutupi daun rumbia, sama seperti balai-balai di depan barak, pikirku. Di
sekeliling pondok terdapat sebuah kandang ayam yang cukup besar dan kamar mandi
darurat. Ayam-ayam mereka juga tergolong unik. Sepertinya ayam kalkun, cirinya
sama dengan yang pernah aku pelajari sewaktu di kelas Ilmu Pengetahuan Alam
kemarin. Pria nomor satu pun mulai meloncat keluar. Mengetok pintu kayu yang
reyot. Tidak lama, menyembullah kepala seorang wanita paruh baya. Ia mengenakan
kebaya hijau dan kain pinggang bercorak batik. Tradisional sekali, pikirku.
Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius. Sesekali si wanita mengangguk.
Entah mengerti atau tidak dengan pembicaraan si pria nomor satu. Bersamaan
dengan itu, akupun dikeluarkan dari jeep
pengap ini. Ahh... Leganya. Namun aku masih sadar, aku diculik sekarang. Tapi
aku tidak lagi meronta. Mencoba menjadi anak baik dan akan kabur jika nanti ada
kesempatan, pikirku.
Cuaca sudah mulai gelap membayang. Sinar matahari yang tadi
menembus sela dedaunan mulai samar. Langitpun mulai berwarna jingga.
Pembicaraan pria pertama dan si wanita dilanjutkan di dalam pondok. Kami
dipersilahkan masuk. Hingga larut malam mereka masih asyik berbicara. Kali ini
peserta diskusinya ditambah dengan pria nomor dua. Sedangkan pria nomor tiga
masih menemaniku di sudut ruangan. Masih mengancam dengan pisau lipat yang
tidak begitu menakutkan di malam hari. Mungkin karena cahaya yang menimpanya
tidak sebanyak di waktu siang. Aku masih gelisah. Ingin pulang, bertemu mamak
dan bapak. Meskipun mereka sudah menghilang dari barak kami tadi siang. Masih
saja aku ingin pulang dan mengadukan kejahatan ini ke tetangga-tetangga kami,
meskipun tidak semuanya mengenalku.
Aku menggeram, menandakan ingin berkata sesuatu. Si pria
nomor tiga akhirnya membukakan plester yang dari tadi siang menutup mulutku.
“Om, saya mau pipis,” laporku seperti seorang anak TK yang
baik-baik.
Sekilas pria nomor tiga meminta persetujuan dari kedua
rekannya. Si pimpinan komplotan, pria nomor satu mengangguk. Tidak terlalu
memerhatikan.
Akhirnya aku dan pria nomor tiga pun keluar dari pondok.
Cuaca di tengah kebun karet ini sangat gelap. Satu-satunya cahaya temaram yang
ada hanyalah lampu kecil yang tergantung di depan pondok sebagai penerangan
halaman sekitar. WC yang kumaksud tidak cukup jauh. Si pria nomor tiga
mengantarkanku sampai di ambang pintu WC. Aku masuk. Sebelumnya aku bilang juga
kalau aku hendak buang air besar juga.
WC ini sangat darurat, pikirku. Bagian dindingnya yang
terbuat dari anyaman bambu sudah rapuh. Keran air aku hidupkan. Sebenarnya aku
tidak begitu ingin pipis. Kupandangi setiap sudut WC. Ada satu lubang besar
yang ada di bagian atas dinding. Tepat membelakangi pintu yang dijaga oleh pria
nomor tiga tadi, pikirku. Aku harus memanjat ke situ. Kususun ember dengan
posisi terbalik. Tanganku meraih tepi lubang. Dengan segenap tenaga kunaikkan
badanku. Tidak terlalu tinggi, aku sampirkan kaki di bagian kanan lubang
sehingga kini posisi badanku setengahnya sudah berada di luar. Suara keran
masih berisik. Sebelum melompat keluar aku sempat berteriak sebentar,
“Om, tunggu ya. Sebentar lagi.”
“Iya,” jawab orang di seberang sana.
Hati-hati aku melompat ke sebelah dinding. Di tengah gelap
aku mencoba berjalan menjauhi WC dan pondok. Terus melangkah menuruni jalan
setapak berjenjang hingga tiba di tengah kebun yang lapang. Di situ tidak ada
pohon sawit. Hanya ada beberapa pohon kapuk di pinggirnya dan rumput yang
beberapa tumbuh setinggi pinggangku. Menyeramkan, pikirku. Namun aku harus
pulang. Jauh di seberang lapangan ada pondok kecil juga. Sepertinya tidak ada
penghuninya, pikirku. Di belakangku suara orang berteriak-teriak. Suara pria
nomor tiga dan dua rekannya. Cahaya senter mereka terlihat seperti
kunang-kunang yang terbang kesana-kemari.
Kupercepat langkahku. Terkadang kakiku juga tersangkut
tanaman puteri malu yang berduri. Tertusuk duri, sedikit sakit. Tak apalah.
Yang penting aku bisa lari dari komplotan orang jahat ini. Aku menuju pondok
gelap itu. Pondok yang berbentuk rumah panggung ini sudah cukup reyot.
Sepertinya sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Di bagian dinding juga telah
dililit batang tanaman merambat. Atapnya juga dipenuhi sampah dedaunan yang
jatuh dari pohon-pohon di sekelilingnya. Tangga menuju terasnya juga sepertinya
tidak lagi dapat dinaiki oleh orang dewasa. Baguslah. Setidaknya aku dapat
bersembunyi di balik pondok ini.
Aku melangkah, menuju bagian belakang pondok. Ada satu triplek
lebar di belakangnya. Sudah uzur sama seperti pondok ini. Tidak jauh di
belakangku kudengar si penjahat-penjahat tadi masih mencariku.
“Kemana dia?” teriak satu diantara mereka.
“Mungkin kesana,” jawab yang satunya lagi.
Sedangkan aku masih menyelip diantara dinding pondok dan
triplek tua yang ada. Seketika karena saking takutnya aku ingin pipis. Tak
banyak berpikir, aku akan pipis di sini saja. Di tempat persembunyianku. Pipis
di celana saja, pikirku.
Sambil jongkok aku pipis di celana. Hangat. Namun aku
sedikit heran, kenapa hangatnya menjalari hingga kedua betisku. Padahal aku
sedang jongkok saat ini. Tiba-tiba kakiku ditarik salah satu penjahat ini.
“HEI KAMU!!!” aku terkejut.
Sesaat aku sadar, aku bermimpi. Kubuka mata segera. Cahaya
terang membuatku silau. Mamak sudah berada di depanku dengan muka yang masam.
Apalagi kalau bukan karena aku kencing di celana. Aku hanya tertawa konyol.
“Bangun. Bersihkan itu dengan itu,” ucap Mamak seraya
menunjuk air kencing dan air ember yang ada di teras barak kami.
Secepat kilat aku duduk dan mulai menuruti apa perintah
Mamak. Di dalam hati aku sangat senang. Aku tidak diculik.