Yelna's Hope

This website is a valuable resource that presents a wealth of professional experience and the unique point of view of Yelna Yuristiary. Yelna generously shares her insights, knowledge, and expertise, with the hope that readers can use the information to enhance their own understanding, make informed decisions, and achieve their goals.

Monday, June 25, 2012

Memoar Indah di Jogja


Perjalanan paling hemat yang pernah kujalani selanjutnya adalah berkunjung ke Jogja dengan tiket KA Ekonomi dengan harga 37 ribu rupiah. Perjalanan ke Jogja kami dimulai tanggal 13 Juni 2012 jam 7 malam. Kami berangkat dari stasiun Tanah Abang ke Lempuyangan (Jogjakarta). Perjalanan dengan KA Ekonomi ini lumayan nyaman walaupun setiap detik selalu ada pedagang-pedagang yang lalu lalang menawarkan barang dagangannya. Tapi, ya namanya juga usaha nggak apa-apa sih. Yang penting dia senang kita tenang. Kami sampai di stasiun Lempuyangan pukul 05.30 pagi. Sesampainya di stasiun Lempuyangan kami mulai mencari tiket untuk pulang karena sebelumnya di stasiun Tanah Abang kami kehabisan tiket pulang (kehabisan tiket Ekonomi). Hehehe… Berhubung karena saat itu hari masih pagi dan loket penjualan tiket belum buka, kami menyempatkan diri dulu untuk sholat di musholla sekitar stasiun Lempuyangan. Sarapan pagi kami juga dilakukan di warung depan stasiun. Pukul 07.30, kami pun mulai mengantri membeli tiket hingga akhirnya kami hanya menemukan tiket AC Ekonomi Gajahwong untuk pulang di tanggal 17 Juni.
Lepas dari urusan tiket, kami mulai berjalan menuju shelter bus Trans-Jogja yang berada di dekat stasiun ini. Hal pertama yang sangat aku ingat tentang kota ini adalah kecepatan dari sepeda motor dan mobil di jalanan kota ini sepertinya lumayan kencang. Kami pun mulai perjalanan dari shelter Trans Jogja ini ke halte Prambanan karena destinasi kami selanjutnya adalah Candi Prambanan ini. Nah, satu hal lagi yang sepertinya lumayan aneh menurutku adalah kami sangat narsis ketika pertama kali sampai di Jogja. Hal ini terlihat dari banyaknya foto-foto kami di shelter bus Trans Jogja. Padahal kalau dipikir-pikir shelter bus ini biasa saja. Bedanya ia terletak di Jogja. Itu saja. Sesampainya di Candi Prambanan, kami memasuki wilayah Candi dan mulai memesan karcis masuk lengkap dengan wisata Ratu Yelna. Upps.. Maaf salah, Ratu Boko maksudnya. Hahahaa.. :D
Kami pun diajak oleh bapak guide-nya ke lokasi Ratu Boko dan mulai berfoto-foto di sana. Berbagai pose dikeluarkan dari berdiri, jongkok, duduk, berdiri setengah jongkok setengah hingga sampai berpura-pura jadi wall climbers juga ada. Bagi yang cowok-cowok juga mulai uji nyali di lokasi ini dengan turun ke tempat pembakaran jenazah di lokasi Ratu Boko ini. Beralih dari lokasi Ratu Boko, kami menuju Candi Prambanan yang letaknya lebih dari 3 km dan ditempuh dengan mobil paket wisata Candi ini. Di Prambanan inilah tenaga kami sudah terkuras habis hingga ada satu awak dari tim kami yang kerjanya hanya mencari tempat teduh untuk ‘bobok’ siang. Di Prambanan juga kami masih foto-foto dengan berbagai pose. Rasanya ke Candi ini hanya untuk mencari view terbaik dan menyelipkan muka di view yang baik itu. Pukul 03.30 sore kami mulai bertolak menuju pantai Parang Tritis, tepatnya Losmen Prasetyo yang ada di sana. Sebelumnya kami sudah memesan kamar di losmen ini dan herannya kami bahwa losmen di daerah ini sangat murah. Ya, Rp 40000/malam untuk 3 orang merupakan harga yang ditawarkan oleh pemilik losmen ini untuk kami. Perjalanan ke Parang Tritis dimulai dari terminal Giwangan yang letaknya sendiri kami tidak tahu karena tidak ada di dalam peta Jogja yang kami cetak.
Perjalanan ke Parang Tritis ternyata cukup lama dan membuat ngantuk. Di bus yang kami tumpangi juga sedikit aneh karena tidak ada kenek bus-nya dan si sopir selalu mengisi bus-nya walaupun kami sudah empot-empotan di dalam bus yang berukuran lumayan mini itu. Hal ini juga sangat berkesan bagi salah satu awak tim kami yang sempat kehilangan topi milik bapaknya di bus ini. Namun, sepanjang perjalanan sebenarnya kami juga menikmati indahnya Gunung Kidul dan sunset yang timbul tenggelam di balik rumah-rumah dan pepohonan sepanjang jalan yang kami lalui. Pukul 05.40 kami pun tiba di losmen Prasetyo. Pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah yang disulap jadi losmen ini kami awalnya gembira. Si abang-abang penunggu losmen pun mengantarkan kami ke kamar yang telah kami sewa. Namun, suasana mistis mulai terasa ketika dua dari awak tim kami pulang dari laut untuk melihat sunset. Salah seorang dari mereka menceritakan kengerian di losmen ini. Hal ini didukung juga dengan sepinya losmen yang menjadikan rumah ini bukan seperti penginapan. Akan tetapi lebih seperti tempat persembunyian di dekat Pantai Parang Tritis. Malamnya kami mulai berjalan ke arah pantai dan menyusuri laut disana. Disini juga terasa suasana mistis karena pada malam itu merupakan malam Jumat Kliwon dimana banyak penduduk yang melakukan ritual-ritual di pantai tersebut. Tidak jauh dari lokasi ritual juga terdapat semacam pasar kaget yang menjual berbagai macam jenis dagangan. Mulai dari pakaian, permainan, alat perkakas, hingga jimat-jimat yang diyakini oleh beberapa orang. Namun, malam itu kami tidak berlama-lama di pantai karena suasana yang seram dan minimnya penerangan di pantai itu menjadikan pantai ini sangat tidak menyenangkan untuk dikunjungi di malam hari.
***
Paginya, kami terlambat bangun. Hal ini menyebabkan kami tidak sempat menyaksikan sunrise di balik Gunung Kidul yang letaknya persis di depan losmen kami. Namun, pagi itu juga kami mulai berbenah dan menuju pantai kembali untuk menikmati suasana di sana. Sesampainya di pantai, barulah kami melihat indahnya pantai yang tadi malam kami kunjungi. Ombaknya yang besar menjadi sensasi tersendiri ketika berada di tengah-tengahnya. Di pantai ini kami mulai bercanda dan berlari-larian seenaknya. Ketika air surut kami ke tengah, dan ketika ada ombak yang besar kami mulai berlari-larian. Ada juga beberapa teman kami yang sengaja berfoto di tengah ombak dan membiarkan pakaiannya basah. Di pantai ini juga ada dokar dan bapak penjual kacamata. Salah satu trik bapak ini untuk menggaet pelanggan wanitanya adalah memanggil ‘puteri’ kepada pelanggannya ini. Yah, bagi saya dan beberapa teman saya yang notabene orang Sumatera pasti akan terbang mendengar sebutan ini.
Usai bermain-main di pantai kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Malioboro. Sesampainya di Malioboro kami mulai mencari hotel dan berencana pergi ke Borobudur. Namun, waktu dan kesempatan sepertinya tidak berpihak dan hal ini merubah rute kami yakni hanya berbelanja di Malioboro. Awalnya kami merasa sedikit sedih karena tidak jadi ke Borobudur di hari itu. Planning yang gagal menjadikan kami bermuram durja hingga akhirnya…Terereeeng… Malioboro mengubah kesedihan itu menjadi sifat belanja gila yang menjadi-jadi. Di Malioboro ini kami seolah-olah mendapatkan semangat baru untuk lebih kuat berjalan, menawar dan mencari oleh-oleh yang pas untuk dibawa pulang. Harga yang ditawarkan pun lumayan murah dan menjadikan kami sedikit ahli dalam hal tawar-menawar. Di Malioboro kami menghabiskan waktu sampai malam dan baru pulang ketika kaki-kaki kami rasanya sudah mau copot. Perjalanan pulang ke hotel Indonesia merupakan suatu hal terberat yang kami rasakan karena setiap langkah yang kami lakukan berpeluang bagi kami untuk singgah di kaki lima yang menawarkan berbagai produk dan oleh-oleh yang membuat silau mata dan hasrat yang besar untuk menghabiskan uang disana.
Sesampainya di hotel Indonesia, kami istirahat sejenak dan memulihkan tenaga untuk kembali pergi ke alun-alun selatan Jogja. Perjalanan ke alun-alun selatan kami tempuh dengan berbecak ria dan menikmati malam di Jogja. Jogja memang kota yang indah dan temaram di malam hari. Jauh dari hiruk pikuk dan hingar bingar dunia metropolitan yang terkadang masih semrawut ketika malam tlah tiba. Di alun-alun selatan, kami mulai mengisi perut terlebih dahulu dengan mencicipi makanan khas dan minuman khas Jogja. Tidak lupa juga kami menikmati suara-suara pengamen di Jogja yang mana mengamennya tergolong bagus dan berkualitas. Setelah makan-makan, kami mulai mencoba mitos pohon beringin yang ada di alun-alun selatan ini. Ketika mencoba beringin inilah aku merasa benar, namun ternyata salah. Langkah yang melenceng dan halusinasi semu yang menjadikan aku tak sampai-sampai ke tengah beringin ini. Bosan mencoba, aku pun mengurungkan niatku untuk kembali melangkah dan menjadikan mitos ini hanya mitos. Hahaha… Emang gue pikirin.
Selepas mencoba mitos beringin yang aneh itu, kami pun naik sepeda hias yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadikan sepeda ini sangat digandrungi oleh wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Kami bersepeda sebentar saja (hanya 2 keliling) alun-alun dan setelah itu kami pun kembali ke hotel.
***
Pagi ini kami bangun tepat waktu. Pukul 06.00 aku dan salah satu awak tim kami mulai berbecak ria menuju pusat oleh-oleh Bakpia Pathuk 25. Kami pun mulai blenja-blenji Bakpia untuk dibawa pulang. Setelah itu pukul 07.00 kami mulai perjalanan ke Candi Borobudur dengan terlebih dahulu ke terminal Jombor. Di terminal Jombor inilah kami menyempatkan diri untuk sarapan di angkringan dan membeli bekal makan siang untuk di Candi nantinya. Perjalanan ke Borobudur merupakan perjalanan yang cukup lama, sekitar 3 jam. Setelah sampai di terminal Borobudur kami pun mulai berjalan kaki ke arah Candi di tengah cuaca terik hari itu. Sesampainya di Candi, kami pun mulai membeli karcis dan masuk ke Candi dengan terlebih dahulu menggunakan batik yang diikatkan ke pinggang. Pembatikan ini dilakukan untuk menjaga kelestarian batik di mata dunia (ini opiniku, opinimu). Nah, di Borobudur ini satu-satunya kegiatan yang kami lakukan adalah FOTO-FOTO dan BERNARSIS RIA. Namun, salah satu dari awak tim kami yang dulunya pernah mencari lokasi ‘bobok’ siang di Candi Prambanan lagi-lagi hanya menjadi fotografer di acara foto-foto ini. Sepertinya ia kurang tertarik untuk menjadi objek foto. Di Borobudur kami menghabiskan waktu yang cukup lama hingga siang dan kami pun makan siang di pelataran candi dengan bekal yang telah kami bawa sebelumnya.
Setelah itu kamipun pulang dan juga sempat ‘nyangkut’ di pasar tradisional yang kembali menawarkan oleh-oleh khas Jogja dan Borobudur di sini. Perjalanan pulang dari Borobudur kami rasa sangat melelahkan. Hal ini terlihat dari kondisi seluruh tim yang tertidur pulas di bis angkutan menuju Jombor. Dari Jombor kami pun kembali menuju hotel Indonesia untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan sebelumnya. Pukul 05.00 sore, kami pun menuju mesjid sekitar Malioboro untuk sholat magrib kemudian setelah itu kami menuju shelter Trans Jogja untuk menuju stasiun Lempuyangan karena pukul 07.20 KA Gajah Wong akan berangkat kembali ke Jakarta. Perjalanan di bus kami habiskan dengan bersenda gurau dan perpisahan kecil-kecilan dengan kota ini. Di dalam bus kami tertawa cekikikan dan mulai ngalor ngidul nggak jelas. Hingga akhirnya kami merasa perjalanan ini terlalu lama. Padahal jika dilihat di peta, jarak antara Malioboro dan stasiun tidak begitu jauh. Dan ternyata… Kami salah dalam memilih moda transportasi menuju stasiun. Salah seorang bapak mengatakan, ‘Ada baiknya kalau tadi kalian naik becak saja. Kalau naik ini sama saja kalian mengelilingi Jogja dengan bus’. Serasa mendengar langit akan runtuh karena sebentar lagi Kereta kami akan berangkat. Disitu kami mulai panik dan berkeluh kesah. Ada juga yang frustasi sampai ada yang sakit perut mendadak. Hingga akhirnya kami tiba di shelter bus dekat stasiun pukul 07.10 malam. Padahal untuk menuju stasiun kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter yang mana hal itu sangat tidak mungkin ditempuh dengan waktu 10 menit. Namun, ternyata Tuhan memiliki jalan lain dimana untungnya ada 1 tukang ojek dan 1 becak yang ada di shelter itu sehingga kami menggunakan 1 ojek dan 1 becak ini untuk mengangkut kami dan barang-barang kami ke stasiun. Tapi ironisnya, bagi para lelaki yang ikut dalam ekspedisi ini, mereka diharuskan berlari sekencang-kencangnya karena tidak muat di ojek dan becak ini. Hingga berkat kerja keras, keyakinan dan semangat juang yang tinggi, kami pun tiba di stasiun Lempuyangan tepat waktu. Dan ternyata lagi, keretanya telat 10 menit dan inilah hal yang menyebabkan kami tidak terlambat pulang ke Jakarta.
Sayonara Jogjakarta… :*

Entri Populer