Cinta itu selalu benar. Tidak
ada cinta yang salah. Cinta adalah level tingkat lanjut dari fase syukur
seorang hamba terhadap karunia Tuhan. Hanya saja, ada beberapa orang yang
memperoleh cinta yang fana, namun tidak sedikit pula yang menemui cinta yang
hakiki. Maksud saya fana di sini adalah ada beberapa orang yang jatuh cinta
teramat sangat terhadap benda mati seperti kekayaan, popularitas, rumah yang
mewah, mobil yang canggih dan segala macam tetek bengek yang dalam satu jam
saja bisa hilang tanpa bekas. Selama saya hidup, lebih kurang 25 tahun sudah,
banyak orang yang salah mengartikan rasa cintanya. Ada sebagian dari mereka
yang rela meninggalkan keluarga hanya untuk popularitas. Ada juga yang rela
berkata tidak sopan kepada orang yang lebih miskin materi dibandingkan dirinya.
Banyak macam-macam jenis manusia ini.
Saya juga pernah merasakan rasa
sakit hati kepada seseorang yang merasa dirinya adalah mahluk tuhan yang paling
kaya raya di dunia ini. Ada beberapa orang yang merampas kekayaan dari orang
lain dengan cara curang. Saya katakana disini merampas karena mereka bukan kaya
raya secara materi karena aset atau ilmu yang dapat menghasilkan uang. Mereka
kaya karena melakukan korupsi sana sini hingga akhirnya mereka menjadi kaya
raya dan disegani banyak orang. Orang-orang ini cenderung memiliki sifat gila
hormat. Mungkin saja hal ini karena sebelumnya mereka memang senantiasa
dihormati karena nilai materi yang dimilikinya. Dalam acara-acara sosial dapat
dikatakan orang-orang ini adalah penyumbang terbesar di acara tersebut. Alasan
mereka menyumbang pun masih sama mirisnya dengan alasan mereka menjadi kaya
mendadak (ya, mereka cenderung mau show off terkait kekayaan mereka).
Pengalaman saya mengenal orang yang seperti ini adalah pengalaman yang paling
baik dan bermanfaat menurut saya. Kebaikan dan keburukan seseorang dapat
menjadi contoh terbaik dalam hidup kita. Kalau ibu saya bilang itu “ambil yang
baiknya dan buang yang jeleknya”.
Jadi itu pengalaman mengenal orang
ini sudah berlangsung cukup lama, kira-kira sejak tahun 2008 hingga 2018.
Sepuluh tahun adalah waktu yang tidak sedikit untuk mengenal seseorang. Apalagi
jika kita pernah satu rumah atau pernah bepergian dengan orang tersebut. Maka
sifat asli seseorang kita dapat mengetahuinya dengan cukup jelas. Seperti satu
keluarga yang saya kenali ini, mereka terlihat sebagai keluarga yang sangat
perfect dari luar. Siapa sangka di dalam kehidupannya mereka saling memakai
topeng satu sama lain. Istri memakai topeng, suami memakai topeng, anak-anak
tidak diajarkan budi pekerti dan tata cara bersosialisasi yang baik dan semua
hal yang ada di dalamnya penuh dengan kepalsuan. Ya… Saya bisa bilang kepalsuan
karena kalian bisa bayangkan, istri mana yang senang menceritakan kekurangan
suaminya. Kemudian ada lagi orang tua yang menganggap gadget adalah produk yang
paling diinginkan oleh anak-anak mereka. Alhasil jika kalian pergi mengunjungi
mereka di rumah, semua orang akan terlihat sibuk dengan gadget mereka. Si ibu
sibuk dengan gadget, ayah sibuk dengan gadget, anak pun sibuk dengan gadget.
Mungkin salah satu hal yang bisa menyatukan mereka jika tiba-tiba wifi off dan
aliran listrik mati berhari-hari. Di saat seperti itu mungkin saja mereka akan
dekat satu sama lain atau malah saling menyalahkan karena secara emosional
memang tidak ada kedekatan antar personil keluarga di rumah tersebut.
Saya sendiri akhirnya
memutuskan untuk pergi dari keluarga ter-fana ini karena saya menemukan sosok
keluarga baru dalam kehidupan saya. Kalau orang-orang bilang itu saya sedang
jatuh cinta. Tapi jika kalian mengenal lebih dalam, mungkin hal tersebut bukan
hanya sebatas rasa cinta yang fana. Rasa itu lebih kepada kesadaran bahwa ada
sosok yang menyayangi kalian melebihi dirinya sendiri. Yakinlah wahai pembaca
blog-ku yang aku sayangi, jika kalian menemui sosok orang yang seperti itu,
kalian boleh meninggalkan apa-apa yang fana yang kalian miliki. Dan ya… Di awal
tahun 2018, saya berjalan menuju sosok yang begitu baik tersebut dan
meninggalkan sekumpulan orang ter-palsu di dunia ini. Untungnya seiring saya
berjalan, kedua orang tua dan adik saya mendukung dengan sepenuh hati. Sama
sekali tidak ada rasa amarah dan benci mereka atas keputusan saya. Karena saya
belajar menilai dari apa-apa yang mereka tanamkan sejak kecil. Tahukah kalian
kalau dulu khususnya ibu saya pernah bilang, “Kak, kamu jangan rasis. Nilai
seseorang dari hatinya”. Hal itulah yang membuat saya mengambil setiap
keputusan di hidup saya. Bagi saya, tak apa sedikit teman yang penting mereka
tulus berteman dengan saya. Bagi saya, biar saja sedikit saudara asalkan mereka
benar-benar membela saya dan berniat baik kepada saya. Toh, apa gunanya punya
banyak teman jika mereka hanya akan menenggelamkan kamu saat kamu sedang
berjuang untuk berenang?
Buat apa itu semua? Maka saya
akan tetap memilih seseorang yang menyayangi saya melebihi dirinya sendiri
dibandingkan orang yang selalu menyalahkan saya atas ketidaksempurnaan. Orang
yang menyalahkan etnis dan ras orang lain. Orang yang selalu meletakkan
kesalahan ke pundak orang lain. Orang yang selalu menilai bernilai atau
tidaknya seseorang berdasarkan materi yang mereka miliki. Orang yang lebih
memilih atasan mereka dibandingkan adik atau kakak mereka sendiri. Orang yang
memiliki dunia yang sempit dan penuh dengan kepalsuan. Jangan tanyakan dua kali
kalau saya tidak pernah memperhitungkan anda sebagai seseorang yang perlu saya
perjuangkan. Jika kesuksesan palsu dan kekayaan palsu dapat saya tinggalkan,
maka setiap orang dapat menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang “nothing to
lose”. Gagal bukan mematahkan sayap saya karena gagal itu tidak pernah ada
dalam kamus hidup saya, yang ada hanya kurang beruntung dan nanti pasti akan
beruntung. Hal itu yang selalu saya ingat dan tanamkan.
Bagi beberapa orang yang pernah
berniat buruk kepada saya dengan memprediksi saya akan bangkrut dalam 3 bulan
dan akan pulang kampung, mungkin kalian bisa mulai menata hidup kalian
masing-masing saja dengan mengurusi hal-hal yang menjadi tanggung jawab kalian.
Hidup kalian bukan sebatas kesuksesan atau kegagalan saya. Hidup saya juga
bukan sebatas izin kalian. Saya dan kalian punya tata cara menilai kehidupan
yang berbeda. Maka dari itu coba terima sudut pandang seseorang dalam mengambil
keputusan karena sukses bukan hanya kaya raya secara materi. Bagi saya sukses
adalah menikmati apa yang saya miliki. Buat apa punya banyak uang tapi tidak
bisa berekspresi? Sayang kan perasaannya di nomor duakan melulu.
Ok. Jadi intinya, pahami ilmu
menilai dalam kehidupan.