DING DONG DING DONG...
Malam telah berada di
tapal batas. Cinderella harus pulang karena ilmu sihir dari Ibu Peri akan
menghilang seiring datangnya pagi. Ia berlari meninggalkan pangeran yang
tercengang. Tidak habis pikir. Ingin rasanya berlama-lama bersama gadis ini,
pikirnya. Cinderella menerobos gerombolan tamu yang sebelumnya tengah
menyaksikan dirinya dan pangeran berdansa. Sungguh pasangan yang serasi, pikir
mereka. Sulit baginya menuruni anak tangga istana Azalia. Tak sengaja, di salah
satu anak tangga, hak sepatunya menyangkut di karpet tebal. Sulit untuk ditarik
hingga akhirnya terlepas dari kaki jenjangnya. Sementara di belakang, sekitar
15 meter jauhnya, pangeran mencoba meraihnya. Sekadar ingin bertanya nama dan
tempat tinggal. Tetapi Cinderella tidak ingin terlihat menyedihkan dengan
pakaian compang camping yang ia kenakan beberapa saat lagi. Bagian depan
bajunya sudah berubah warna. Lebih kusam dan penuh tambalan sana-sini. Hingga
akhirnya, tepat ketika si pangeran akan mengerahkan pasukan untuk mengejarnya,
ia sempat meloncat naik menaiki kereta labunya. Hhah... Akhirnya...
Dengan napas tersengal dan
peluh yang mengucuri dahinya yang dihiasi anak rambut yang tumbuh rapi, ia
tersenyum. Menang sekaligus bahagia. Namun ada sejumput kekecewaan di hatinya.
Pikirannya melayang ke masa silam. Sekitar 10 tahun yang lalu ketika ayah masih
hidup. Keluarga Cinderella adalah keluarga yang bahagia. Bersama ayah yang
senantiasa menyayanginya. Ayah Cinderella bekerja sebagai seorang pengusaha di
kota mereka. Setiap hari Cinderella senantiasa dimanja oleh Bi Iyem, pembantu
di rumahnya. Meski ibunya telah tiada sejak Cinderella masih bayi, Cinderella
tidak pernah kekurangan kasih sayang seorang ibu. Bi Iyem, seorang janda tua
yang tidak memiliki anak ini sangat menyayangi Cinderella seperti anaknya
sendiri.
Ajaran-ajaran untuk selalu
menjadi anak yang baik juga diajarkan Bi Iyem kepada Cinderella. Hingga
Cinderella remaja, Bi Iyem senantiasa mengasuhnya. Menemani dan menjadi ibu
sekaligus sahabat bagi Cinderella. Sayangnya, 2 bulan setelah ulang tahun
Cinderella yang ke-15, Bi Iyem harus meninggalkan ayah dan anak ini selamanya.
Ia menghembuskan napas terakhirnya bersama penyakit kanker yang ternyata sudah
menggerogoti tubuhnya. Dunia Cinderella seketika menjadi suram. Tiada lagi ibu,
tiada lagi sahabat.
Seketika, seorang wanita
muda dan dua orang anaknya yang datang dari kota mulai memasuki kehidupan
mereka. Nyonya Eli berhasil membuat ayah Cinderella merasakan jatuh cinta untuk
yang kedua kalinya setelah sekian lama menutup hatinya untuk perempuan manapun.
Di mata ayah Cinderella, Nyonya Eli adalah seorang wanita yang baik, pintar,
cerdas dan sayang kepada anaknya. Nyonya Eli memiliki dua orang puteri kembar
yang bernama Tina dan Tini. Menurut Cinderella mereka bukan seorang teman yang menyenangkan.
Jahil adalah jiwa mereka. Sudah jahil, jahat pula. Cinderella tidak menyukai
mereka sehingga sejak Nyonya Eli dan anak kembarnya tinggal di rumah,
Cinderella lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Ia hanya akan keluar
jika Ayahnya pulang dari bekerja di kota.
Tidak disangka, ternyata
Nyonya Eli itu bagaikan ular berkepala dua. Kekejaman kedua puterinya merupakan
buah dari ajarannya. Nyonya Eli yang saat itu berprofesi sebagai seorang dokter
ternyata memiliki rencana jahat yang besar untuk keluarga Cinderella.
Keahliannya sebagai seorang dokter digunakan untuk hal-hal yang tidak
selayaknya. Seringkali ia membuka praktek aborsi di rumah Cinderella ketika
suaminya dinas ke kota. Ia juga kerap mencampurkan obat penambah nafsu makan
untuk Cinderella agar gadis ini menjadi gendut dan tidak menarik lagi bagi
siapa pun yang melihatnya. Tetapi beruntung bagi Cinderella, pencernaan gadis
ini selancar napas yang setiap kali ia hirup. Obat penambah nafsu makan itu
tidak berlaku untuknya. Konsumsi sayur dan buah tetap menjadikan Cinderella
semakin cantik dari hari ke hari. Sama sekali tidak menjadi gendut.***
Mimpi buruk bagi
Cinderella akhirnya terjadi juga. Setahun setelah Nyonya Eli tinggal bersama
mereka, kecelakaan besar menimpa ayah Cinderella. Longsor yang terjadi di
tebing gunung mengubur ayah Cinderella yang tengah berada di perjalanan menuju
kota. Tuan Joe, ayah Cinderella seketika tewas di tempat. Tidak terselamatkan.
Meninggalkan kesedihan dan penderitaan bagi anak tunggalnya, Cinderella.***
Kereta labu yang ditumpangi
Cinderella pun bergetar. Seketika berubah wujud menjadi buah labu kecil dan
kudanya menjadi tikus-tikus teman Cinderella di rumah. Bajunya yang indah juga
telah berganti menjadi pakaian kumal yang penuh tambalan di sana sini. Sejak
ayahnya meninggal, ia tidak lagi pernah membeli baju. Jika beruntung, baju
lungsuran kedua saudara tirinya akan diberikan kepadanya. Seakan kehidupan
tidak lagi milik Cinderella. Ia harus berjuang. Bekerja untuk makan dan harus
berhenti sekolah.
Sedangkan di istana,
pangeran kebingungan. Bingung dan gelisah menanti kabar tentang Cinderella.
Seluruh prajurit dikerahkan untuk mencari gadis itu. Satu-satunya cara adalah
dengan mencocokkan ukuran kaki setiap gadis dengan sepatu Cinderella yang
tertinggal. Pengumuman pencarian sang puteri pun mulai menyeruak. Istana heboh.
Rakyat pun heboh. Setiap gadis merasa paling berhak untuk menempati posisi
puteri itu. Pencarian puteri pun akan dilaksanakan satu bulan lagi. Gadis-gadis
mulai berusaha tampil secantik mungkin. Berharap keputusan pangeran untuk
menikahi gadis yang kakinya cocok dengan sepatu itu belum bulat. Pengharapan
berkembang menjadi mimpi. Mimpi menimbulkan ambisi dan strategi.
Hal ini jualah yang
terjadi di rumah Cinderella. Nyonya Eli yang dikenal sangat pintar pun mulai
mencari akal. Ia yang mengetahui bahwa Cinderella-lah puteri yang dicari mulai
berusaha memutar otak mengelabui prajurit pangeran. Garis wajah gadis yang
berdansa dengan pangeran di pesta itu sangat diingat oleh Nyonya Eli. Garis
wajah yang sama dengan Cinderella. Nyonya Eli pun mulai mencari tahu ukuran
kaki Cinderella. Mencocokkannya dengan ukuran kedua kaki anaknya. Tina, tidak
cocok. Tini, tidak cocok. Masing-masing kaki masih belum sama dengan kaki milik
Cinderella. Satu-satunya kaki yang memiliki sedikit kemiripan dengan ukuran
kaki Cinderella adalah kaki Tini. Kaki Tini lebih besar sedikit dibanding
dengan kaki Cinderella.
Hari pencarian puteri pun
dilaksanakan. Setiap prajurit dikerahkan memasuki rumah-rumah penduduk yang
memiliki anak perempuan. Hingga akhirnya sampailah di rumah Nyonya Eli.
Prajurit mengetuk pintu. Nyonya Eli yang pintar pun mulai meminta satu syarat
agar prajurit dapat mencocokkan kaki kedua anaknya dengan sepatu Cinderella.
Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah Tina dan Tini baru akan mencoba sepatu
itu jika seluruh gadis di wilayah itu sudah mencoba sepatu itu. Akhirnya,
dengan berat hati si prajurit meninggalkan rumah Nyonya Eli dan berjanji akan
kembali setelah semua kaki gadis telah dicocokkan (dengan catatan jika gadis
idaman pangeran belum ditemukan).
Sedangkan Cinderella saat
itu hanya dikurung di dalam kamar. Ia tidak diperbolehkan keluar. Nyonya Eli
telah memberinya obat tidur agar tidur selama 3 hari lamanya. Hingga hari
kedua, prajurit pun kembali ke rumah Nyonya Eli. Gadis idaman pangeran belum
ditemukan. Dengan senang hati Nyonya Eli menyuruh Tina mencoba sepatu itu.
Namun ternyata sepatu itu lebih besar dibandingkan kakinya yang kecil. Beralih
ke Tini. Dengan sedikit sulit ia memasukkan kakinya ke sepatu itu. Hingga...
HORE!!! Sedikit berteriak Tini karena kegirangan. Kakinya cocok dengan sepatu
ini, meskipun sedikit sempit. Di balik kerudungnya Nyonya Eli tersenyum sinis.
Bodoh sekali prajurit ini, pikirnya. Tentu saja sepatu itu akan muat dengan kaki
Tini. Bahannya terbuat dari kulit. Jika sering dicoba tentunya sepatu itu akan
menjadi longgar dan akan muat kepada kaki yang lebih besar sedikit. Nyonya Eli
masih senang dengan kepintarannya. Sedangkan Tini hanya tersenyum bahagia
karena tidak menyangka sepatu ini akan muat dengan kakinya yang sedikit lebih besar
dibanding kaki Cinderella.