Jalan
menuju rumahku masih panjang. Kira-kira masih 500 meter lagi. Di tengah
teriknya matahari di bulan April aku menyipitkan mata, mencoba melihat sosok
anjing tua yang berlari-lari ke arahku. Namanya Buddy. Anjing kesayanganku,
hadiah dari kakek sepuluh tahun yang lalu. November ini Buddy genap berusia 10
tahun. Buddy berlari sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang penuh luka. Aku
mempercepat langkah menuju rumah dua tingkat bercat putih di ujung jalan ini.
Tepat sebelum pohon ketapang tua yang berdaun rimbun aku berbelok. Kulebarkan
pintu pagar yang terbuka seadanya. Di belakangku Buddy masih mengekor sambil
menjulur-julurkan lidahnya. Kulirik bekas kudis yang hampir mengering di bagian
perutnya. Jijik, pikirku. Kuusir Buddy kembali ke rumah kecil yang dibangun ayah
untuknya. Kupercepat langkah dan kuputuskan meninggalkan anjing penyakitan itu
di luar, tepatnya di kandangnya.
Sepuluh
tahun lalu Buddy adalah anjing yang cerdas. Kulitnya berwarna putih dengan
totol hitam, berjenis Dalmatian. Buddy adalah hadiah dari kakek ketika aku
berhasil lulus ujian nasional SD. Buddy kecil saat itu berusia sekitar 3 tahun.
Hari-hariku saat itu hanya dihabiskan bersama Buddy. Meskipun jenis anjing
Dalmatian sedikit susah diatur, Buddy berbeda. Aku hanya perlu menaikkan
suaraku untuk membuatnya berhenti menggonggong, berlari maupun mengikutiku.
Ketika
aku masih sekolah di SMP komplek sebelah, Buddy selalu rajin mengantarkanku.
Dia selalu mengikuti hingga batas gerbang sekolah. Buddy adalah anjing yang
pandai dan penurut. Dia juga setia menungguku di depan rumah ketika jam pulang
sekolah. Terkadang dia juga seolah menjemputku jika aku sedikit terlambat, sama
seperti yang hendak ia lakukan siang ini. Buddy adalah penghapal jalan yang
baik.
Namun,
sejujurnya rasa sayangku kepada anjing ini sudah sedikit berkurang. Entah dari
mana dia mendapatkan kutukan kudis dan kurap yang tadi sempat aku lihat.
Menurut Ibu, Buddy sempat bertingkah sedikit aneh bulan lalu. Aku juga
merasakan hal itu. Buddy jarang menungguku di pagar depan rumah. Ibu yang
sering memerhatikan Buddy mengira bahwa anjing ini sudah semakin tua dan lelah.
Ibu hanya membiarkan Buddy berdiam di kandangnya. Setiap pagi Ibu akan
mengantarkan makanan untuknya. Sedangkan aku tidak ingat persis kondisi Buddy
di saat itu. Mungkin sejak saat itu ia mulai terjangkit penyakit kudis dan
kurap.
Sejak
SMA aku tidak lagi terlalu memerhatikan Buddy. Tugas-tugas menumpuk dari hari
ke hari, minta diperhatikan. Semua tugas merasa dirinya menjadi prioritas dan
mencoba menarik perhatianku. Aku juga sering menghabiskan waktu di sekolah yang
jaraknya lumayan jauh dari rumah. Aku baru akan pulang ketika cahaya mulai
terlihat samar. Aku menjadi ketua tim basket dan pemimpin organisasi KIR (Karya
Ilmiah Remaja) di sekolah. Hari-hariku saat itu sangat sibuk. Jangankan untuk
bermain bersama Buddy, mengurus diriku sendiri pun masih tidak sempat. Menjadi
ketua tim basket ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Setiap minggu kami
harus latihan fisik dan di akhir pekan biasanya diisi dengan pertandingan
persahabatan. Belum lagi jika turnamen basket antar kota yang biasanya dilaksanakan
di bulan Juli dilaksanakan. Tak ayal lagi Buddy menjadi perhatian ke-sekian
puluh di dalam hidupku.
Malam
ini Ibu memasak ikan mas goreng dengan saus kecap pedas. Aku sangat suka dengan
menu istimewa ini. Kubawa goreng ikan itu ke teras depan rumah, berharap dapat
menyantap daging ikan yang enak itu sambil menikmati bunga kamboja yang mulai
bermekaran di halaman kami. Baru sesuap nasi yang aku makan, tiba-tiba Buddy
menghampiriku. Duduk manis tidak jauh dariku. Matanya yang bulat menatap lurus
ke ikan mas goreng buatan ibu. Jaraknya sekitar 1,5 meter, hanya bau kudis dan
kurapnya entah mengapa begitu menyengat di malam ini. Seketika aku mual. Aku
berdiri dan kututup pintu cepat agar bau itu tidak sampai masuk ke dalam rumah.
Ibu
yang melihat tingkahku kepada Buddy hanya menggeleng perlahan dan berjalan
menuju dapur. Pasti dia akan memberikan Buddy jatah ikan masnya, pikirku. Tidak
salah lagi, tidak lama aku dengar pintu teras dibuka dan Buddy menggonggong
menyambut kedatangan Ibu dengan potongan ikan mas. Aku tidak peduli, terus
makan, sambil menonton TV. Saat ini satu-satunya orang yang cenderung
memerhatikan Buddy adalah Ibu. Ibu tidak pernah lupa memberi Buddy makan,
meskipun itu hanya jatah lauk yang tidak habis kami makan. Tapi Ibu tidak
sekuat aku yang suka membawa Buddy jalan-jalan keliling kompleks, lima tahun
yang lalu.
Ketika
itu aku kerap mengajak Buddy bermain, jalan-jalan sore hingga memakaikannya
kalung kulit berwarna merah yang dihiasi dengan kancing hitam. Aksesoris itu
seolah menjadi identitas Buddy. Tetangga-tetangga kami akan langsung menyadari
sosok Buddy meskipun mereka dihadapkan dengan seribu anjing Dalmatian yang
hampir serupa. Buddy juga sangat menyukai kalung pemberianku itu. Entah kenapa
anjing ini sangat senang ketika aku mengusap-usap kepala dan lehernya.
Pagi
Minggu seperti saat ini sudah lama aku nantikan. Pagi yang sendu karena cuaca
sedikit berkabut. Dari celah jendela kamar aku intip kandang Buddy yang sudah
kosong. Tepat di bawah pohon jambu Buddy bermain dengan anjing kecil yang berwarna
putih bersih. Terkadang Buddy menjilat-jilat badan anjing kecil itu. Mereka
berlari-lari dan berkejar-kejaran. Awalnya aku pikir anjing itu betina, namun
ternyata aku salah. Mungkin anjing itu milik tetangga sebelah, pikirku.
Di
ruang tengah yang dilengkapi sofa biru tua aku tiduran sebentar sambil membaca
info grup ekstrakurikuler kami. Tetapi pikiranku masih tertuju pada Buddy. Semakin
hari kudisnya semakin bertambah banyak. Aku mulai mencari cara untuk
memusnahkan kudis-kudisnya itu.
Bosan
bersantai di sofa biru, aku melangkah keluar. Seingatku dulu Dian -teman
sekelasku- pernah mengatakan bahwa kudis atau kurap pada anjing dapat
disembuhkan dengan menyiramkan minyak tanah di tubuh yang terjangkit penyakit
kulit ini. Aku cepat-cepat menuju rumah
kecil milik Buddy. Kudapati ia duduk sambil melamun. Beberapa lalat hijau
sesekali hinggap dan terbang di bagian leher yang terkena kudis itu. Bagian
tubuh Buddy kini tidak sebagus dulu. Corak hitamnya juga telah memudar dan
banyak bagian tubuhnya yang terkelupas dan berair. Mungkin itu adalah bakal
kudis baru miliknya. Di beberapa bagian lainnya didapati kulit kering yang
bersisik, persis seperti kurap kering.
Bergegas
aku menuju gudang, mengambil sebotol minyak tanah dan menyiram Buddy tepatnya
di bagian tubuhnya yang dipenuhi kudis dan kurap itu. Seketika Buddy
mengelinjang seperti cacing kepanasan dan melompat-lompat. Entah karena perih
yang dihasilkan oleh reaksi minyak tanah dan kudis itu, entah karena bau minyak
yang tidak ia suka. Aku tidak tahu pasti. Melihat itu aku merasa telah
menyelamatkan Buddy dari kudis dan kurapnya. Sekitar 15 menit aku perhatikan Buddy
masih hiperaktif dan berjalan sambil melompat-lompat akibat penyiraman minyak
tanah itu.
Berselang
dua minggu, ternyata resep menghilangkan kudis dan kurap Buddy gagal total.
Kudisnya malah menjadi-jadi karena bagian kulit yang dulunya telah kering kini
berair kembali. Baunya juga semakin menyengat dan aku merasa bahwa kudis dan
kurap Buddy tidak akan pernah bisa disembuhkan. Alih-alih membawa ke dokter hewan,
di kota kami dokter hewan sangat tidak populer. Tidak ada dokter hewan di sini.
Setahuku dokter hewan terdekat hanya ada di ibukota provinsi yang jaraknya
dapat ditempuh selama 4 jam perjalanan. Selain itu keluarga kami juga tidak
menyediakan pundi-pundi uang khusus yang sengaja dialokasikan untuk hewan
peliharaan, meskipun itu Buddy, pemberian kakek sepuluh tahun yang lalu.
Terkadang
ingin rasanya aku menyingkirkan Buddy karena baunya. Tapi, kemana? Bau kudis Buddy
memang sudah melewati batas. Jika ia berjalan, baunya semerbak dalam radius 5
meter. Tidak hanya itu, meskipun Buddy adalah anjing yang pintar, namun ia
tidak cukup pintar untuk menangkap rasa jijikku terhadapnya. Adakalanya ia
masih menjemputku dalam perjalanan pulang seperti yang kerap ia lakukan. Ia
juga sering mengeekor ketika aku disuruh Ibu mengantarkan jahitan baju milik
Bibi Eli. Pernah suatu ketika Buddy aku lempar dengan kerikil agar tidak lagi
mengikutiku. Saat itu di pagi Minggu, tepatnya pukul tujuh pagi, Ibu menyuruhku
mengantarkan jahitan baju pesanan Bibi Eli. Saat itu aku mengeluarkan sepedaku
dan mulai mempersiapkan jahitan baju. Tidak disangka, saat itu juga ternyata Buddy
sudah siap menungguku di depan pagar. Mungkin ia berpikir aku akan mengajaknya
jalan-jalan keliling komplek. Awalnya aku tak mengacuhkan keinginannya untuk
terus membuntuti. Namun, tepat di ujung jalan aku melihat segerombolan
anak-anak tim basket yang baru saja usai bertanding. Rasa malu seketika
menyergapku jika mereka tahu aku diikuti oleh anjing tua kudisan ini. Tanpa
berpikir panjang, aku mengusir Buddy dengan melemparinya dengan kerikil kecil
yang ada di sekitarku. Saat itu kulihat Buddy sedikit terkejut dan bingung,
ekornya dikibas-kibaskan seolah ia ingin bermain denganku. Namun karena kerikil
yang kulemparkan tidak kunjung habis sambil aku menghardik dan mengusirnya, Buddy
paham apa maksudku. Dengan tubuh ringkih yang dipenuhi kudis itu ia berbalik
dan pulang. Sesekali ia melihat ke belakang, namun kembali berlari ketika ia
kuusir.
Aku
melanjutkan perjalanan ke rumah Bibi Eli dengan sebelumnya sempat bertegur sapa
dengan teman-teman satu timku. Satu di antara mereka ternyata melihat insiden
aku mengusir anjing tadi. Sekenanya aku menjawab bahwa anjing itu adalah anjing
liar yang sering mengelilingi komplek ini. Mereka hanya ber-ooh saja ketika aku panjang lebar
menjelaskan.
Sepeda
ini juga kelihatannya semakin tua, sama seperti Buddy. Beberapa besi di
stang-nya sudah berkarat dan keranjangnya sudah rusak di beberapa bagian. Buah
jeruk yang diberikan Bibi Eli pun terlihat nyaris jatuh ketika aku melewati
beberapa jalan yang tidak mulus. Alam bawah sadarku kembali kepada Buddy. Apa
yang harus kulakukan dengan anjing itu? Meskipun ia tidak sakit parah, kudisnya
ini menjadikannya terisolir dari teman-temannya bahkan kami. Akhir-akhir ini
Ibu terlihat jarang mengunjungi Buddy, entah karena beliau sibuk mengurusi
jahitan yang makin hari semakin bertambah atau karena bau kudisnya. Pernah
suatu ketika kami membicarakan tentang Buddy bersama ayah. Ayah hanya berkata
bahwa sebaiknya Buddy dibuang saja karena kudisnya berbahaya dan dapat
menimbulkan sumber penyakit bagi kami. Ayah memberi pilihan untuk membuang Buddy
saat ini atau tetap tinggal dengannya dengan konsekuensi hidung yang teraniaya
dengan bau dan air kudisnya yang kerap menempel di teras rumah.
Hingga
tiba-tiba, perhatianku tertuju dengan sejumlah gerombolan orang yang
berkerumun. Entah apa yang dilihatnya sehingga rona jijik dan beberapa di
antara mereka muntah-muntah. Sejurus kulihat Buddy, terkapar di jalan dengan darah
yang berceceran dan beberapa bagian kudis yang banyak dihinggapi lalat. Buddy
tertabrak. Kalung kulit berwarna merah yang sempat berubah cokelat karena sudah
usang kini kembali berwarna merah, tetapi lebih gelap. Sesekali kudengar
celetukan orang, “Kasihan”. Namun jauh di dalam lubuk hati aku bersorak,
“Terima kasih Tuhan, engkau telah ambil nyawa anjingku”.
Oleh: Yelna Yuristiary