Yelna's Hope

This website is a valuable resource that presents a wealth of professional experience and the unique point of view of Yelna Yuristiary. Yelna generously shares her insights, knowledge, and expertise, with the hope that readers can use the information to enhance their own understanding, make informed decisions, and achieve their goals.

Sunday, April 20, 2014

Dariku Untuk Anjingku, "Terimakasih Tuhan"



Jalan menuju rumahku masih panjang. Kira-kira masih 500 meter lagi. Di tengah teriknya matahari di bulan April aku menyipitkan mata, mencoba melihat sosok anjing tua yang berlari-lari ke arahku. Namanya Buddy. Anjing kesayanganku, hadiah dari kakek sepuluh tahun yang lalu. November ini Buddy genap berusia 10 tahun. Buddy berlari sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang penuh luka. Aku mempercepat langkah menuju rumah dua tingkat bercat putih di ujung jalan ini. Tepat sebelum pohon ketapang tua yang berdaun rimbun aku berbelok. Kulebarkan pintu pagar yang terbuka seadanya. Di belakangku Buddy masih mengekor sambil menjulur-julurkan lidahnya. Kulirik bekas kudis yang hampir mengering di bagian perutnya. Jijik, pikirku. Kuusir Buddy kembali ke rumah kecil yang dibangun ayah untuknya. Kupercepat langkah dan kuputuskan meninggalkan anjing penyakitan itu di luar, tepatnya di kandangnya.
Sepuluh tahun lalu Buddy adalah anjing yang cerdas. Kulitnya berwarna putih dengan totol hitam, berjenis Dalmatian. Buddy adalah hadiah dari kakek ketika aku berhasil lulus ujian nasional SD. Buddy kecil saat itu berusia sekitar 3 tahun. Hari-hariku saat itu hanya dihabiskan bersama Buddy. Meskipun jenis anjing Dalmatian sedikit susah diatur, Buddy berbeda. Aku hanya perlu menaikkan suaraku untuk membuatnya berhenti menggonggong, berlari maupun mengikutiku.
Ketika aku masih sekolah di SMP komplek sebelah, Buddy selalu rajin mengantarkanku. Dia selalu mengikuti hingga batas gerbang sekolah. Buddy adalah anjing yang pandai dan penurut. Dia juga setia menungguku di depan rumah ketika jam pulang sekolah. Terkadang dia juga seolah menjemputku jika aku sedikit terlambat, sama seperti yang hendak ia lakukan siang ini. Buddy adalah penghapal jalan yang baik.
Namun, sejujurnya rasa sayangku kepada anjing ini sudah sedikit berkurang. Entah dari mana dia mendapatkan kutukan kudis dan kurap yang tadi sempat aku lihat. Menurut Ibu, Buddy sempat bertingkah sedikit aneh bulan lalu. Aku juga merasakan hal itu. Buddy jarang menungguku di pagar depan rumah. Ibu yang sering memerhatikan Buddy mengira bahwa anjing ini sudah semakin tua dan lelah. Ibu hanya membiarkan Buddy berdiam di kandangnya. Setiap pagi Ibu akan mengantarkan makanan untuknya. Sedangkan aku tidak ingat persis kondisi Buddy di saat itu. Mungkin sejak saat itu ia mulai terjangkit penyakit kudis dan kurap.
Sejak SMA aku tidak lagi terlalu memerhatikan Buddy. Tugas-tugas menumpuk dari hari ke hari, minta diperhatikan. Semua tugas merasa dirinya menjadi prioritas dan mencoba menarik perhatianku. Aku juga sering menghabiskan waktu di sekolah yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Aku baru akan pulang ketika cahaya mulai terlihat samar. Aku menjadi ketua tim basket dan pemimpin organisasi KIR (Karya Ilmiah Remaja) di sekolah. Hari-hariku saat itu sangat sibuk. Jangankan untuk bermain bersama Buddy, mengurus diriku sendiri pun masih tidak sempat. Menjadi ketua tim basket ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Setiap minggu kami harus latihan fisik dan di akhir pekan biasanya diisi dengan pertandingan persahabatan. Belum lagi jika turnamen basket antar kota yang biasanya dilaksanakan di bulan Juli dilaksanakan. Tak ayal lagi Buddy menjadi perhatian ke-sekian puluh di dalam hidupku.
Malam ini Ibu memasak ikan mas goreng dengan saus kecap pedas. Aku sangat suka dengan menu istimewa ini. Kubawa goreng ikan itu ke teras depan rumah, berharap dapat menyantap daging ikan yang enak itu sambil menikmati bunga kamboja yang mulai bermekaran di halaman kami. Baru sesuap nasi yang aku makan, tiba-tiba Buddy menghampiriku. Duduk manis tidak jauh dariku. Matanya yang bulat menatap lurus ke ikan mas goreng buatan ibu. Jaraknya sekitar 1,5 meter, hanya bau kudis dan kurapnya entah mengapa begitu menyengat di malam ini. Seketika aku mual. Aku berdiri dan kututup pintu cepat agar bau itu tidak sampai masuk ke dalam rumah.
Ibu yang melihat tingkahku kepada Buddy hanya menggeleng perlahan dan berjalan menuju dapur. Pasti dia akan memberikan Buddy jatah ikan masnya, pikirku. Tidak salah lagi, tidak lama aku dengar pintu teras dibuka dan Buddy menggonggong menyambut kedatangan Ibu dengan potongan ikan mas. Aku tidak peduli, terus makan, sambil menonton TV. Saat ini satu-satunya orang yang cenderung memerhatikan Buddy adalah Ibu. Ibu tidak pernah lupa memberi Buddy makan, meskipun itu hanya jatah lauk yang tidak habis kami makan. Tapi Ibu tidak sekuat aku yang suka membawa Buddy jalan-jalan keliling kompleks, lima tahun yang lalu.
Ketika itu aku kerap mengajak Buddy bermain, jalan-jalan sore hingga memakaikannya kalung kulit berwarna merah yang dihiasi dengan kancing hitam. Aksesoris itu seolah menjadi identitas Buddy. Tetangga-tetangga kami akan langsung menyadari sosok Buddy meskipun mereka dihadapkan dengan seribu anjing Dalmatian yang hampir serupa. Buddy juga sangat menyukai kalung pemberianku itu. Entah kenapa anjing ini sangat senang ketika aku mengusap-usap kepala dan lehernya.
Pagi Minggu seperti saat ini sudah lama aku nantikan. Pagi yang sendu karena cuaca sedikit berkabut. Dari celah jendela kamar aku intip kandang Buddy yang sudah kosong. Tepat di bawah pohon jambu Buddy bermain dengan anjing kecil yang berwarna putih bersih. Terkadang Buddy menjilat-jilat badan anjing kecil itu. Mereka berlari-lari dan berkejar-kejaran. Awalnya aku pikir anjing itu betina, namun ternyata aku salah. Mungkin anjing itu milik tetangga sebelah, pikirku.
Di ruang tengah yang dilengkapi sofa biru tua aku tiduran sebentar sambil membaca info grup ekstrakurikuler kami. Tetapi pikiranku masih tertuju pada Buddy. Semakin hari kudisnya semakin bertambah banyak. Aku mulai mencari cara untuk memusnahkan kudis-kudisnya itu.
Bosan bersantai di sofa biru, aku melangkah keluar. Seingatku dulu Dian -teman sekelasku- pernah mengatakan bahwa kudis atau kurap pada anjing dapat disembuhkan dengan menyiramkan minyak tanah di tubuh yang terjangkit penyakit kulit ini.  Aku cepat-cepat menuju rumah kecil milik Buddy. Kudapati ia duduk sambil melamun. Beberapa lalat hijau sesekali hinggap dan terbang di bagian leher yang terkena kudis itu. Bagian tubuh Buddy kini tidak sebagus dulu. Corak hitamnya juga telah memudar dan banyak bagian tubuhnya yang terkelupas dan berair. Mungkin itu adalah bakal kudis baru miliknya. Di beberapa bagian lainnya didapati kulit kering yang bersisik, persis seperti kurap kering.
Bergegas aku menuju gudang, mengambil sebotol minyak tanah dan menyiram Buddy tepatnya di bagian tubuhnya yang dipenuhi kudis dan kurap itu. Seketika Buddy mengelinjang seperti cacing kepanasan dan melompat-lompat. Entah karena perih yang dihasilkan oleh reaksi minyak tanah dan kudis itu, entah karena bau minyak yang tidak ia suka. Aku tidak tahu pasti. Melihat itu aku merasa telah menyelamatkan Buddy dari kudis dan kurapnya. Sekitar 15 menit aku perhatikan Buddy masih hiperaktif dan berjalan sambil melompat-lompat akibat penyiraman minyak tanah itu.
Berselang dua minggu, ternyata resep menghilangkan kudis dan kurap Buddy gagal total. Kudisnya malah menjadi-jadi karena bagian kulit yang dulunya telah kering kini berair kembali. Baunya juga semakin menyengat dan aku merasa bahwa kudis dan kurap Buddy tidak akan pernah bisa disembuhkan. Alih-alih membawa ke dokter hewan, di kota kami dokter hewan sangat tidak populer. Tidak ada dokter hewan di sini. Setahuku dokter hewan terdekat hanya ada di ibukota provinsi yang jaraknya dapat ditempuh selama 4 jam perjalanan. Selain itu keluarga kami juga tidak menyediakan pundi-pundi uang khusus yang sengaja dialokasikan untuk hewan peliharaan, meskipun itu Buddy, pemberian kakek sepuluh tahun yang lalu.
Terkadang ingin rasanya aku menyingkirkan Buddy karena baunya. Tapi, kemana? Bau kudis Buddy memang sudah melewati batas. Jika ia berjalan, baunya semerbak dalam radius 5 meter. Tidak hanya itu, meskipun Buddy adalah anjing yang pintar, namun ia tidak cukup pintar untuk menangkap rasa jijikku terhadapnya. Adakalanya ia masih menjemputku dalam perjalanan pulang seperti yang kerap ia lakukan. Ia juga sering mengeekor ketika aku disuruh Ibu mengantarkan jahitan baju milik Bibi Eli. Pernah suatu ketika Buddy aku lempar dengan kerikil agar tidak lagi mengikutiku. Saat itu di pagi Minggu, tepatnya pukul tujuh pagi, Ibu menyuruhku mengantarkan jahitan baju pesanan Bibi Eli. Saat itu aku mengeluarkan sepedaku dan mulai mempersiapkan jahitan baju. Tidak disangka, saat itu juga ternyata Buddy sudah siap menungguku di depan pagar. Mungkin ia berpikir aku akan mengajaknya jalan-jalan keliling komplek. Awalnya aku tak mengacuhkan keinginannya untuk terus membuntuti. Namun, tepat di ujung jalan aku melihat segerombolan anak-anak tim basket yang baru saja usai bertanding. Rasa malu seketika menyergapku jika mereka tahu aku diikuti oleh anjing tua kudisan ini. Tanpa berpikir panjang, aku mengusir Buddy dengan melemparinya dengan kerikil kecil yang ada di sekitarku. Saat itu kulihat Buddy sedikit terkejut dan bingung, ekornya dikibas-kibaskan seolah ia ingin bermain denganku. Namun karena kerikil yang kulemparkan tidak kunjung habis sambil aku menghardik dan mengusirnya, Buddy paham apa maksudku. Dengan tubuh ringkih yang dipenuhi kudis itu ia berbalik dan pulang. Sesekali ia melihat ke belakang, namun kembali berlari ketika ia kuusir.
Aku melanjutkan perjalanan ke rumah Bibi Eli dengan sebelumnya sempat bertegur sapa dengan teman-teman satu timku. Satu di antara mereka ternyata melihat insiden aku mengusir anjing tadi. Sekenanya aku menjawab bahwa anjing itu adalah anjing liar yang sering mengelilingi komplek ini. Mereka hanya ber-ooh saja ketika aku panjang lebar menjelaskan.
Sepeda ini juga kelihatannya semakin tua, sama seperti Buddy. Beberapa besi di stang-nya sudah berkarat dan keranjangnya sudah rusak di beberapa bagian. Buah jeruk yang diberikan Bibi Eli pun terlihat nyaris jatuh ketika aku melewati beberapa jalan yang tidak mulus. Alam bawah sadarku kembali kepada Buddy. Apa yang harus kulakukan dengan anjing itu? Meskipun ia tidak sakit parah, kudisnya ini menjadikannya terisolir dari teman-temannya bahkan kami. Akhir-akhir ini Ibu terlihat jarang mengunjungi Buddy, entah karena beliau sibuk mengurusi jahitan yang makin hari semakin bertambah atau karena bau kudisnya. Pernah suatu ketika kami membicarakan tentang Buddy bersama ayah. Ayah hanya berkata bahwa sebaiknya Buddy dibuang saja karena kudisnya berbahaya dan dapat menimbulkan sumber penyakit bagi kami. Ayah memberi pilihan untuk membuang Buddy saat ini atau tetap tinggal dengannya dengan konsekuensi hidung yang teraniaya dengan bau dan air kudisnya yang kerap menempel di teras rumah.
Hingga tiba-tiba, perhatianku tertuju dengan sejumlah gerombolan orang yang berkerumun. Entah apa yang dilihatnya sehingga rona jijik dan beberapa di antara mereka muntah-muntah. Sejurus kulihat Buddy, terkapar di jalan dengan darah yang berceceran dan beberapa bagian kudis yang banyak dihinggapi lalat. Buddy tertabrak. Kalung kulit berwarna merah yang sempat berubah cokelat karena sudah usang kini kembali berwarna merah, tetapi lebih gelap. Sesekali kudengar celetukan orang, “Kasihan”. Namun jauh di dalam lubuk hati aku bersorak, “Terima kasih Tuhan, engkau telah ambil nyawa anjingku”.


Oleh: Yelna Yuristiary

1 comment:

  1. sebenarnya penyakit kudis atau demodex bisa disembuhkan melalui terapi yaitu sering dimandikan setiap hari memakai sabun belerang, shampoo medical, dan minyak ikan untuk dikomsusikan kepada anjing, dan kudis atau demodex berawal dari lingkungan yang kotor juga dari makanan, bukan berarti jika anjing anda terkena penyakit anda membuangnya begitu saja, anjing itu salah satu hewan yang setiap terhadap majikannya, misalkan anda terkena penyakit lalu anda dibuang, apakah anda mau? semoga anda tidak melakukan hal yang sama ketika anda memelihara anjing ataupun hewan lainnya.

    ReplyDelete

Entri Populer