Yelna's Hope

This website is a valuable resource that presents a wealth of professional experience and the unique point of view of Yelna Yuristiary. Yelna generously shares her insights, knowledge, and expertise, with the hope that readers can use the information to enhance their own understanding, make informed decisions, and achieve their goals.
Showing posts with label SASTRA. Show all posts
Showing posts with label SASTRA. Show all posts

Friday, May 09, 2014

Petikan Novel 'Salo Rangeng'

Berikut sepenggal kutipan novel Salo Rangeng...



Di era 21, setiap orang hidup berbahagia dengan teknologi temuannya. Era ini dapat dikatakan era keemasan kehidupan manusia. Selain itu pada era ini masyarakat tidak lagi memikirkan pangan, energi dan air yang akan mereka gunakan. Kebutuhan sangat melimpah ruah di abad ini, tidak terbantahkan lagi karena perputaran produksi buah dan sayur meningkat pesat dan banyak dari sumber makanan ini yang tidak habis dikonsumsi oleh penduduk dunia. Di era 21 perkembangan melaju dengan segala jenis konsep bangunan multifungsi, apartemen terbang, penemuan vaksin beberapa penyakit yang kronis dan masih banyak lagi yang lainnya. Populasi penduduk pada era ini mencapai sekitar 20 milyar jiwa dengan tingkat kepadatan peenduduk tertinggi yaitu di negeri China. Di era ini juga muncul banyak penemu-penemu ilmu rekayasa baik di bidang desain, genetika, biologi, antariksa, psikologi dan banyak lagi yang lainnya. Era ini dinamakan era pintar oleh penduduk bumi. Setiap manusia memiliki dunianya sendiri. Mereka bebas untuk melakukan apa saja di dunia mereka tersebut.
Keegoisan manusia mulai melanda manusia di era 22. Tepatnya di tahun 2280 terjadi krisis besar yang menghancurkan sebagian populasi bumi di wilayah barat. Terjadi krisis energi yang semakin besar. Energi pada masa itu menjadi sangat langka dan merupakan alat tukar antar sesama manusia. Pada awalnya krisis energi dimulai dengan tergantikannya sumber energi fosil di belahan bumi barat. Pada masa itu, pasokan bahan bakar setiap negara tidak lagi disimpan di dalam tanah karena adanya rasa tidak nyaman antar negara-negara ini. Mulailah muncul pertikaian hingga terjadi pemusnahan bahan bakar fosil di Sao Paulo. Pemusnahan ini memicu perang krisis energi antar negara satu dengan negara lain. Di masa itu terjadi kelangkaan yang demikian besar sehingga satu-satunya negara yang bertahan atas krisis ini adalah negara-negara yang terletak di jalur cincin api, kepulauan, daerah yang sering diserang badai dan topan serta daerah dengan suhu tertinggi di dunia. Daerah-daerah inilah yang mampu bertahan dari serangan krisis ini.
Di lain sisi, krisis energi yang terjadi memicu ilmuwan untuk segera menemukan berbagai material yang dapat mensubstitusi fungsi dari bahan bakar fosil. Berbagai penelitian dilakukan di setiap institusi pendidikan hingga ditemukan material Mrya. Keunggulan dari material Mrya ini adalah fungsinya sebagai pengganti bahan bakar fosil dan pengatur suhu dari pembakaran. Dengan menggunakan material ini setiap proses pembakaran secara langsung akan menjadi efisien sehingga penggunaan energi alternatif tidak lagi menjadi harapan utama bagi penduduk dunia. Ayah Salo bercerita,
“Tahukah kamu anakku, Salo. Zaman di mana bumi ini sudah berubah bentuk namun tetap berputar pada porosnya yang sedikit bergeser karena kelalaian manusia, ketika itu terjadi tiga krisis besar yang kita hadapi. Pertama krisis energi, disusul oleh krisis pangan dan terakhir krisis air. Krisis energi bukanlah yang terburuk dari musibah yang terjadi karena selayaknya energi di dunia ini tidak akan pernah hilang. Seperti kata seorang penemu di abad 19, Einstein, energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, namun energi dapat berubah bentuk. Ketika energi fosil mulai menghilang, kita hanya perlu mencari reinkarnasi dari energi-energi yang sebelumnya pernah ada. Tidak sulit di masa itu bagi ilmuwan di muka bumi ini. Mereka sangat cerdas hingga dapat menjadikan gerakan kedipan mata mereka menjadi energi listrik”.
 

Tuesday, April 22, 2014

Gara-Gara Mayudin, Si Ketua Otoriter



Angin malam berhembus dari sela dedaunan rimbun samping halte asrama UI. Aku masih duduk menunggu bikun yang kelak akan mengantarkanku ke Fakultas Teknik. Tidak banyak orang di halte ini, hanya cukup untuk membentuk satu tim voli saja. Dua pria termasuk aku, satu ibu-ibu beserta suaminya dan dua mahasiswi yang tertawa berisik sambil bercanda dengan temannya. Kuhela nafas berat, sedikit kecewa karena bikun yang kutunggu masih belum terlihat tanda-tanda keberangkatannya. Bapak sopir yang bertugas mengendarai pun seolah hanyut bersama alunan lagu dangdut yang menemani mereka, lengkap dengan sekuteng hangat di malam-malam yang dingin seperti ini.
Tak lama ponselku bergetar,
“Halo”, kusapa datar orang di seberang sana.
“Tin, sudah dimana? Jangan lupa bawa kertas milimeter block ya”, Mayudin, si ketua kelompok otoriter itu mulai beraksi.
“Di halte asrama. Iya”. KLIK.
Bergegas aku kembali ke dalam pagar asrama, menuju kantin. Membeli milimeter block, terpaksa setuju menjadi jongos Mayudin untuk sementara waktu. Saat itu pukul 06.00 malam, sesudah magrib, ketenanganku terusik saat Mayudin mengirimkan sms seenaknya,
Dear kelompok 5, malam ini kita mulai membuat pemetaan di kantin teknik lantai 2. Kumpul di gazebo jam 8. Tidak datang berarti nama kalian siap untuk diputihkan.
Entah sejak kapan Mayudin kami percaya untuk menjadi ketua kelompok. Namun, jika dipikir lagi, kenyataan ini memang berawal dari sikap kami yang acuh terhadap tugas Bu Yanti. Tak ayal lagi, si Mayudin yang suka cari perhatian kepada beliau dipilih menjadi penanggung jawab kelompok 5, kelompok kami.
Buum... Buum... Deru mesin bikun memanggilku agar mempercepat transaksi jual beli milimeter block. Kumasukkan kertas itu ke dalam tas kuning transparan yang berisi penggaris siku dan pensil mekanik. Aku ambil kembalian dari Mas Dudi secepat kilat dan berlari menuju bikun yang tengah berjalan lambat, seolah menunggu seseorang. Jarakku tidak jauh dari pintu belakang bikun. Namun sepertinya deru mesinnya tidak dapat dihentikan. Pak sopir dari bikun ini pun terlihat tidak melihat atau pura-pura tidak memerhatikan bahwa masih ada penumpang yang ingin naik ke bikunnya.
Tertatih aku melangkah, berharap bikun yang penuh itu berhenti dan sekedar membuka pintu belakangnya barang semenit. Tapi ternyata jauh arang dari api, bikun tetap melaju meninggalkanku yang sudah mulai kelelahan berlari-lari kecil hingga sampai di depan warung Mang Engking. Kutatap bagian belakang bikun itu, sepertinya hanya satu dua orang yang masuk ke dalamnya. Sayang sekali, pikirku.
Kubalikkan badan kembali menuju halte asrama. Kelima orang yang sebelumnya menjadi temanku menunggu bikun kini telah pergi. Halte asrama telah kosong, yang tersisa hanyalah tempat duduk beton yang dilapisi keramik berwarna kuning dengan tempelan selebaran di bagian dindingnya. Seminar Hari Air, Job Fair, Mentoring Ikhwan, Lomba Kreasi Puisi FIB, Lowongan Mengajar, dan masih banyak yang lainnya. Lampu remang yang tertanam di langit-langit atap halte kini telah dikelilingi laron yang terbius dengan cahaya, meskipun itu sepercik.
Dengan langkah gontai aku menaiki trotoar dan kembali duduk di tengah halte. Sengaja memilih posisi di tengah, duduk, menyandar. Kesal dengan Mayudin yang telah menyebabkan aku harus berbalik ke kantin asrama lagi dan tertinggal bikun. Sendal jepit yang kukenakan kini terasa sedikit hangat karena dibawa berlari mengejar bikun tadi. Kulepas, kuangkat kakiku dan bersila di atas bangku halte, berharap bebas dari suntikan-suntikan serangga kecil yang tak beradab, nyamuk. Masih 15 menit lagi hingga bikun selanjutnya jalan. Akupun menguap.
Rasanya sudah lama aku menunggu bikun di halte ini, namun lagi-lagi tanda keberangkatan tak kunjung datang. Anehnya dari tadi hingga sekarang tidak ada anak asrama yang hendak keluar, ke UI. Halte yang sebelumnya ramai pun mulai terasa sepi, tidak ada tawa kedua gadis yang tadi. Tak ada juga obrolan sepasang ibu dan bapak yang sepertinya hendak akan makan di luar. Kulirik jam tangan Q&Q pemberian mama tiga bulan yang lalu, sudah 08.14, pikirku.
Tinggal satu menit lagi hingga bikun selanjutnya datang dan mengantarkanku ke Fakultas Teknik, bertemu kelompok 5, bertemu ketua yang otoriter. Semoga saja Mayudin tidak lagi memintaku membelikan ini itu di menit-menit seperti ini. Tanpa menunggu lama, sorot lampu bikun memecah gulita yang ada di sekitar halte. Deru mesin pun mulai bergemuruh memberi harapan bahwa sebentar lagi aku akan berangkat. Pak sopir yang tadinya duduk-duduk di balai tongkrongan pun bergegas menyeruput kopi yang entah masih panas atau sudah dingin karena tercampur angin malam yang mampu membuat alam sekelilingnya beku. Pak Karto, melangkah cepat ke arah bikun, ambil kendali dan menutup pintu bikun.
Buum... Buum... Mesin bikun kembali menderu, namun kali ini deruannya sedikit lebih bersahabat. Memberi instruksi kepada kita untuk masuk. Bikun dengan simbol merah yang menandakan bahwa terlebih dahulu akan melewati Fakultas Hukum berhenti tepat di depan halte asrama, membukakan pintu dan akupun masuk. Melangkah, riang.
“Terimakasih, Pak”, lirihku kepada Pak Karto.
Aku duduk tepat di belakang Pak Karto. Tempat yang strategis untuk cepat keluar dari bikun serta mengetahui siapa saja orang yang akan naik bikun. Siapa tahu nanti aku akan bertemu Kiki, Gilang dan Raden, temanku di kelompok 5. Tidak ada orang lain selain aku yang naik ke bikun ini. Entah karena ini malam Jumat malam, waktunya orang-orang pulang ke rumah masing-masing atau karena waktu sudah menunjukkan jam 8 malam. Waktu yang cocok bagi setiap orang untuk tetap berada di kamar, mengerjakan tugas, menonton drama Korea, bernyanyi-nyanyi sendiri atau sekedar tidur cepat untuk mempersiapkan energi untuk esok hari. Energi untuk jalan-jalan di akhir pekan. Sedangkah aku, kembali harus ke kampus, menyelesaikan tugas besar dengan si ketua otoriter, Mayudin.
Bikun melaju kencang hingga tiba di halte Gerbatama. Di halte ini tidak banyak yang masuk. Seorang ibu dan anaknya serta seorang gadis dengan rambut panjang sebahu. Dalam keremangan lampu bikun kulirik wajah gadis tinggi semampai ini. Mukanya terlihat mulus, namun sedikit menunduk. Mungkin karena lagi malas untuk kembali ke kampus juga, pikirku.
Pak Karto kembali memacu bikunnya. Saat ini bikun yang hampir kosong melompong ini melewati kawasan UIwood. Kawasan yang cukup horor di dalam situs-situs horor kampus seantero Indonesia. Konon di dalam salah satu situs yang pernah aku baca, kawasan ini dipenuhi dengan mahluk-mahluk yang tidak kasat mata. Jika membayangkankan, entah mengapa bulu kudukku bergidik sendiri. Ah... Sudahlah, pikirku.
Tiba-tiba dari arah pagar pembatas jalan, seorang kakek tua melompati pagar. Entah dari mana ia berasal, baju koko putih, sarung lusuh dan peci hitam. Celingak celinguk di jalan dan tiba-tiba berlari ke depan bikun yang tengah melaju kencang. Tak ayal lagi Pak Karto terkejut setengah mati. Niat hati ingin mengerem, entah kenapa jadinya malah tambah menginjak pedal gas. Bruuk... Kakek itu terlindas ban bikun. Sempat kurasakan ban bikun melindas tulang atau apapun dari bagian tubuh kakek itu. Rasanya seperti lewat di jalan berbatu. Kulihat wajah Pak Karto pucat pasi. Tangannya gemetar. Suasana bikun hening, serasa aura kehidupan tidak lagi ada di dalam bikun ber-AC ini. Aku lirik ibu dan anak yang berada tidak jauh dariku tadi, mereka hanya memandangiku. Entah apa arti tatapannya, sekilas terlihat senyum sinis di wajah sang ibu. Mukanya pun terlihat putih sekali, menyeramkan. Kulirik gadis dengan rambut sebahu yang dari tadi menunduk, perlahan ia menegakkan kepalanya. Aku terkesiap. Ternyata wajahnya tidak secantik yang aku bayangkan. Penuh bopeng dan darah segar mengalir dari sudut-sudut bibirnya.
“Yan... Yanda...”, si gadis memanggil namaku.
Seketika aku terkesiap, mengucek-ngucek mata yang semakin aku kucek terlihat semakin buram. Cahaya di sini tidak lagi seburam cahaya bikun yang tadi. Pandanganku menyapu setiap hal yang ada di dekatku. Meja belajar yang apik dengan susunan buku mekanika, kipas angin, lemari kayu, jemuran baju, tempelan tim bola kesayanganku dan jam dinding dengan merk bank lokal ternama. Di sebelahku kini ada Farid, memanggil sambil bermain DOTA di laptopnya. Kulirik jam dinding dengan merk bank itu, pukul 08.10 malam. Sudahlah. Aku izin tidak bertemu Mayudin, si ketua otoriter itu dulu. Tak perlu keluar dulu malam ini, pikirku.

Keterangan:
Bikun: bis kuning yang merupakan alat transportasi khusus wilayah Kampus UI.

Sunday, April 20, 2014

Dariku Untuk Anjingku, "Terimakasih Tuhan"



Jalan menuju rumahku masih panjang. Kira-kira masih 500 meter lagi. Di tengah teriknya matahari di bulan April aku menyipitkan mata, mencoba melihat sosok anjing tua yang berlari-lari ke arahku. Namanya Buddy. Anjing kesayanganku, hadiah dari kakek sepuluh tahun yang lalu. November ini Buddy genap berusia 10 tahun. Buddy berlari sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang penuh luka. Aku mempercepat langkah menuju rumah dua tingkat bercat putih di ujung jalan ini. Tepat sebelum pohon ketapang tua yang berdaun rimbun aku berbelok. Kulebarkan pintu pagar yang terbuka seadanya. Di belakangku Buddy masih mengekor sambil menjulur-julurkan lidahnya. Kulirik bekas kudis yang hampir mengering di bagian perutnya. Jijik, pikirku. Kuusir Buddy kembali ke rumah kecil yang dibangun ayah untuknya. Kupercepat langkah dan kuputuskan meninggalkan anjing penyakitan itu di luar, tepatnya di kandangnya.
Sepuluh tahun lalu Buddy adalah anjing yang cerdas. Kulitnya berwarna putih dengan totol hitam, berjenis Dalmatian. Buddy adalah hadiah dari kakek ketika aku berhasil lulus ujian nasional SD. Buddy kecil saat itu berusia sekitar 3 tahun. Hari-hariku saat itu hanya dihabiskan bersama Buddy. Meskipun jenis anjing Dalmatian sedikit susah diatur, Buddy berbeda. Aku hanya perlu menaikkan suaraku untuk membuatnya berhenti menggonggong, berlari maupun mengikutiku.
Ketika aku masih sekolah di SMP komplek sebelah, Buddy selalu rajin mengantarkanku. Dia selalu mengikuti hingga batas gerbang sekolah. Buddy adalah anjing yang pandai dan penurut. Dia juga setia menungguku di depan rumah ketika jam pulang sekolah. Terkadang dia juga seolah menjemputku jika aku sedikit terlambat, sama seperti yang hendak ia lakukan siang ini. Buddy adalah penghapal jalan yang baik.
Namun, sejujurnya rasa sayangku kepada anjing ini sudah sedikit berkurang. Entah dari mana dia mendapatkan kutukan kudis dan kurap yang tadi sempat aku lihat. Menurut Ibu, Buddy sempat bertingkah sedikit aneh bulan lalu. Aku juga merasakan hal itu. Buddy jarang menungguku di pagar depan rumah. Ibu yang sering memerhatikan Buddy mengira bahwa anjing ini sudah semakin tua dan lelah. Ibu hanya membiarkan Buddy berdiam di kandangnya. Setiap pagi Ibu akan mengantarkan makanan untuknya. Sedangkan aku tidak ingat persis kondisi Buddy di saat itu. Mungkin sejak saat itu ia mulai terjangkit penyakit kudis dan kurap.
Sejak SMA aku tidak lagi terlalu memerhatikan Buddy. Tugas-tugas menumpuk dari hari ke hari, minta diperhatikan. Semua tugas merasa dirinya menjadi prioritas dan mencoba menarik perhatianku. Aku juga sering menghabiskan waktu di sekolah yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Aku baru akan pulang ketika cahaya mulai terlihat samar. Aku menjadi ketua tim basket dan pemimpin organisasi KIR (Karya Ilmiah Remaja) di sekolah. Hari-hariku saat itu sangat sibuk. Jangankan untuk bermain bersama Buddy, mengurus diriku sendiri pun masih tidak sempat. Menjadi ketua tim basket ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Setiap minggu kami harus latihan fisik dan di akhir pekan biasanya diisi dengan pertandingan persahabatan. Belum lagi jika turnamen basket antar kota yang biasanya dilaksanakan di bulan Juli dilaksanakan. Tak ayal lagi Buddy menjadi perhatian ke-sekian puluh di dalam hidupku.
Malam ini Ibu memasak ikan mas goreng dengan saus kecap pedas. Aku sangat suka dengan menu istimewa ini. Kubawa goreng ikan itu ke teras depan rumah, berharap dapat menyantap daging ikan yang enak itu sambil menikmati bunga kamboja yang mulai bermekaran di halaman kami. Baru sesuap nasi yang aku makan, tiba-tiba Buddy menghampiriku. Duduk manis tidak jauh dariku. Matanya yang bulat menatap lurus ke ikan mas goreng buatan ibu. Jaraknya sekitar 1,5 meter, hanya bau kudis dan kurapnya entah mengapa begitu menyengat di malam ini. Seketika aku mual. Aku berdiri dan kututup pintu cepat agar bau itu tidak sampai masuk ke dalam rumah.
Ibu yang melihat tingkahku kepada Buddy hanya menggeleng perlahan dan berjalan menuju dapur. Pasti dia akan memberikan Buddy jatah ikan masnya, pikirku. Tidak salah lagi, tidak lama aku dengar pintu teras dibuka dan Buddy menggonggong menyambut kedatangan Ibu dengan potongan ikan mas. Aku tidak peduli, terus makan, sambil menonton TV. Saat ini satu-satunya orang yang cenderung memerhatikan Buddy adalah Ibu. Ibu tidak pernah lupa memberi Buddy makan, meskipun itu hanya jatah lauk yang tidak habis kami makan. Tapi Ibu tidak sekuat aku yang suka membawa Buddy jalan-jalan keliling kompleks, lima tahun yang lalu.
Ketika itu aku kerap mengajak Buddy bermain, jalan-jalan sore hingga memakaikannya kalung kulit berwarna merah yang dihiasi dengan kancing hitam. Aksesoris itu seolah menjadi identitas Buddy. Tetangga-tetangga kami akan langsung menyadari sosok Buddy meskipun mereka dihadapkan dengan seribu anjing Dalmatian yang hampir serupa. Buddy juga sangat menyukai kalung pemberianku itu. Entah kenapa anjing ini sangat senang ketika aku mengusap-usap kepala dan lehernya.
Pagi Minggu seperti saat ini sudah lama aku nantikan. Pagi yang sendu karena cuaca sedikit berkabut. Dari celah jendela kamar aku intip kandang Buddy yang sudah kosong. Tepat di bawah pohon jambu Buddy bermain dengan anjing kecil yang berwarna putih bersih. Terkadang Buddy menjilat-jilat badan anjing kecil itu. Mereka berlari-lari dan berkejar-kejaran. Awalnya aku pikir anjing itu betina, namun ternyata aku salah. Mungkin anjing itu milik tetangga sebelah, pikirku.
Di ruang tengah yang dilengkapi sofa biru tua aku tiduran sebentar sambil membaca info grup ekstrakurikuler kami. Tetapi pikiranku masih tertuju pada Buddy. Semakin hari kudisnya semakin bertambah banyak. Aku mulai mencari cara untuk memusnahkan kudis-kudisnya itu.
Bosan bersantai di sofa biru, aku melangkah keluar. Seingatku dulu Dian -teman sekelasku- pernah mengatakan bahwa kudis atau kurap pada anjing dapat disembuhkan dengan menyiramkan minyak tanah di tubuh yang terjangkit penyakit kulit ini.  Aku cepat-cepat menuju rumah kecil milik Buddy. Kudapati ia duduk sambil melamun. Beberapa lalat hijau sesekali hinggap dan terbang di bagian leher yang terkena kudis itu. Bagian tubuh Buddy kini tidak sebagus dulu. Corak hitamnya juga telah memudar dan banyak bagian tubuhnya yang terkelupas dan berair. Mungkin itu adalah bakal kudis baru miliknya. Di beberapa bagian lainnya didapati kulit kering yang bersisik, persis seperti kurap kering.
Bergegas aku menuju gudang, mengambil sebotol minyak tanah dan menyiram Buddy tepatnya di bagian tubuhnya yang dipenuhi kudis dan kurap itu. Seketika Buddy mengelinjang seperti cacing kepanasan dan melompat-lompat. Entah karena perih yang dihasilkan oleh reaksi minyak tanah dan kudis itu, entah karena bau minyak yang tidak ia suka. Aku tidak tahu pasti. Melihat itu aku merasa telah menyelamatkan Buddy dari kudis dan kurapnya. Sekitar 15 menit aku perhatikan Buddy masih hiperaktif dan berjalan sambil melompat-lompat akibat penyiraman minyak tanah itu.
Berselang dua minggu, ternyata resep menghilangkan kudis dan kurap Buddy gagal total. Kudisnya malah menjadi-jadi karena bagian kulit yang dulunya telah kering kini berair kembali. Baunya juga semakin menyengat dan aku merasa bahwa kudis dan kurap Buddy tidak akan pernah bisa disembuhkan. Alih-alih membawa ke dokter hewan, di kota kami dokter hewan sangat tidak populer. Tidak ada dokter hewan di sini. Setahuku dokter hewan terdekat hanya ada di ibukota provinsi yang jaraknya dapat ditempuh selama 4 jam perjalanan. Selain itu keluarga kami juga tidak menyediakan pundi-pundi uang khusus yang sengaja dialokasikan untuk hewan peliharaan, meskipun itu Buddy, pemberian kakek sepuluh tahun yang lalu.
Terkadang ingin rasanya aku menyingkirkan Buddy karena baunya. Tapi, kemana? Bau kudis Buddy memang sudah melewati batas. Jika ia berjalan, baunya semerbak dalam radius 5 meter. Tidak hanya itu, meskipun Buddy adalah anjing yang pintar, namun ia tidak cukup pintar untuk menangkap rasa jijikku terhadapnya. Adakalanya ia masih menjemputku dalam perjalanan pulang seperti yang kerap ia lakukan. Ia juga sering mengeekor ketika aku disuruh Ibu mengantarkan jahitan baju milik Bibi Eli. Pernah suatu ketika Buddy aku lempar dengan kerikil agar tidak lagi mengikutiku. Saat itu di pagi Minggu, tepatnya pukul tujuh pagi, Ibu menyuruhku mengantarkan jahitan baju pesanan Bibi Eli. Saat itu aku mengeluarkan sepedaku dan mulai mempersiapkan jahitan baju. Tidak disangka, saat itu juga ternyata Buddy sudah siap menungguku di depan pagar. Mungkin ia berpikir aku akan mengajaknya jalan-jalan keliling komplek. Awalnya aku tak mengacuhkan keinginannya untuk terus membuntuti. Namun, tepat di ujung jalan aku melihat segerombolan anak-anak tim basket yang baru saja usai bertanding. Rasa malu seketika menyergapku jika mereka tahu aku diikuti oleh anjing tua kudisan ini. Tanpa berpikir panjang, aku mengusir Buddy dengan melemparinya dengan kerikil kecil yang ada di sekitarku. Saat itu kulihat Buddy sedikit terkejut dan bingung, ekornya dikibas-kibaskan seolah ia ingin bermain denganku. Namun karena kerikil yang kulemparkan tidak kunjung habis sambil aku menghardik dan mengusirnya, Buddy paham apa maksudku. Dengan tubuh ringkih yang dipenuhi kudis itu ia berbalik dan pulang. Sesekali ia melihat ke belakang, namun kembali berlari ketika ia kuusir.
Aku melanjutkan perjalanan ke rumah Bibi Eli dengan sebelumnya sempat bertegur sapa dengan teman-teman satu timku. Satu di antara mereka ternyata melihat insiden aku mengusir anjing tadi. Sekenanya aku menjawab bahwa anjing itu adalah anjing liar yang sering mengelilingi komplek ini. Mereka hanya ber-ooh saja ketika aku panjang lebar menjelaskan.
Sepeda ini juga kelihatannya semakin tua, sama seperti Buddy. Beberapa besi di stang-nya sudah berkarat dan keranjangnya sudah rusak di beberapa bagian. Buah jeruk yang diberikan Bibi Eli pun terlihat nyaris jatuh ketika aku melewati beberapa jalan yang tidak mulus. Alam bawah sadarku kembali kepada Buddy. Apa yang harus kulakukan dengan anjing itu? Meskipun ia tidak sakit parah, kudisnya ini menjadikannya terisolir dari teman-temannya bahkan kami. Akhir-akhir ini Ibu terlihat jarang mengunjungi Buddy, entah karena beliau sibuk mengurusi jahitan yang makin hari semakin bertambah atau karena bau kudisnya. Pernah suatu ketika kami membicarakan tentang Buddy bersama ayah. Ayah hanya berkata bahwa sebaiknya Buddy dibuang saja karena kudisnya berbahaya dan dapat menimbulkan sumber penyakit bagi kami. Ayah memberi pilihan untuk membuang Buddy saat ini atau tetap tinggal dengannya dengan konsekuensi hidung yang teraniaya dengan bau dan air kudisnya yang kerap menempel di teras rumah.
Hingga tiba-tiba, perhatianku tertuju dengan sejumlah gerombolan orang yang berkerumun. Entah apa yang dilihatnya sehingga rona jijik dan beberapa di antara mereka muntah-muntah. Sejurus kulihat Buddy, terkapar di jalan dengan darah yang berceceran dan beberapa bagian kudis yang banyak dihinggapi lalat. Buddy tertabrak. Kalung kulit berwarna merah yang sempat berubah cokelat karena sudah usang kini kembali berwarna merah, tetapi lebih gelap. Sesekali kudengar celetukan orang, “Kasihan”. Namun jauh di dalam lubuk hati aku bersorak, “Terima kasih Tuhan, engkau telah ambil nyawa anjingku”.


Oleh: Yelna Yuristiary

Cinderella, Bukan Sepatu Kaca (Oleh: Yelna Yuristiary)



DING DONG DING DONG...
Malam telah berada di tapal batas. Cinderella harus pulang karena ilmu sihir dari Ibu Peri akan menghilang seiring datangnya pagi. Ia berlari meninggalkan pangeran yang tercengang. Tidak habis pikir. Ingin rasanya berlama-lama bersama gadis ini, pikirnya. Cinderella menerobos gerombolan tamu yang sebelumnya tengah menyaksikan dirinya dan pangeran berdansa. Sungguh pasangan yang serasi, pikir mereka. Sulit baginya menuruni anak tangga istana Azalia. Tak sengaja, di salah satu anak tangga, hak sepatunya menyangkut di karpet tebal. Sulit untuk ditarik hingga akhirnya terlepas dari kaki jenjangnya. Sementara di belakang, sekitar 15 meter jauhnya, pangeran mencoba meraihnya. Sekadar ingin bertanya nama dan tempat tinggal. Tetapi Cinderella tidak ingin terlihat menyedihkan dengan pakaian compang camping yang ia kenakan beberapa saat lagi. Bagian depan bajunya sudah berubah warna. Lebih kusam dan penuh tambalan sana-sini. Hingga akhirnya, tepat ketika si pangeran akan mengerahkan pasukan untuk mengejarnya, ia sempat meloncat naik menaiki kereta labunya. Hhah... Akhirnya...
Dengan napas tersengal dan peluh yang mengucuri dahinya yang dihiasi anak rambut yang tumbuh rapi, ia tersenyum. Menang sekaligus bahagia. Namun ada sejumput kekecewaan di hatinya. Pikirannya melayang ke masa silam. Sekitar 10 tahun yang lalu ketika ayah masih hidup. Keluarga Cinderella adalah keluarga yang bahagia. Bersama ayah yang senantiasa menyayanginya. Ayah Cinderella bekerja sebagai seorang pengusaha di kota mereka. Setiap hari Cinderella senantiasa dimanja oleh Bi Iyem, pembantu di rumahnya. Meski ibunya telah tiada sejak Cinderella masih bayi, Cinderella tidak pernah kekurangan kasih sayang seorang ibu. Bi Iyem, seorang janda tua yang tidak memiliki anak ini sangat menyayangi Cinderella seperti anaknya sendiri.
Ajaran-ajaran untuk selalu menjadi anak yang baik juga diajarkan Bi Iyem kepada Cinderella. Hingga Cinderella remaja, Bi Iyem senantiasa mengasuhnya. Menemani dan menjadi ibu sekaligus sahabat bagi Cinderella. Sayangnya, 2 bulan setelah ulang tahun Cinderella yang ke-15, Bi Iyem harus meninggalkan ayah dan anak ini selamanya. Ia menghembuskan napas terakhirnya bersama penyakit kanker yang ternyata sudah menggerogoti tubuhnya. Dunia Cinderella seketika menjadi suram. Tiada lagi ibu, tiada lagi sahabat.
Seketika, seorang wanita muda dan dua orang anaknya yang datang dari kota mulai memasuki kehidupan mereka. Nyonya Eli berhasil membuat ayah Cinderella merasakan jatuh cinta untuk yang kedua kalinya setelah sekian lama menutup hatinya untuk perempuan manapun. Di mata ayah Cinderella, Nyonya Eli adalah seorang wanita yang baik, pintar, cerdas dan sayang kepada anaknya. Nyonya Eli memiliki dua orang puteri kembar yang bernama Tina dan Tini. Menurut Cinderella mereka bukan seorang teman yang menyenangkan. Jahil adalah jiwa mereka. Sudah jahil, jahat pula. Cinderella tidak menyukai mereka sehingga sejak Nyonya Eli dan anak kembarnya tinggal di rumah, Cinderella lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Ia hanya akan keluar jika Ayahnya pulang dari bekerja di kota.
Tidak disangka, ternyata Nyonya Eli itu bagaikan ular berkepala dua. Kekejaman kedua puterinya merupakan buah dari ajarannya. Nyonya Eli yang saat itu berprofesi sebagai seorang dokter ternyata memiliki rencana jahat yang besar untuk keluarga Cinderella. Keahliannya sebagai seorang dokter digunakan untuk hal-hal yang tidak selayaknya. Seringkali ia membuka praktek aborsi di rumah Cinderella ketika suaminya dinas ke kota. Ia juga kerap mencampurkan obat penambah nafsu makan untuk Cinderella agar gadis ini menjadi gendut dan tidak menarik lagi bagi siapa pun yang melihatnya. Tetapi beruntung bagi Cinderella, pencernaan gadis ini selancar napas yang setiap kali ia hirup. Obat penambah nafsu makan itu tidak berlaku untuknya. Konsumsi sayur dan buah tetap menjadikan Cinderella semakin cantik dari hari ke hari. Sama sekali tidak menjadi gendut.***
Mimpi buruk bagi Cinderella akhirnya terjadi juga. Setahun setelah Nyonya Eli tinggal bersama mereka, kecelakaan besar menimpa ayah Cinderella. Longsor yang terjadi di tebing gunung mengubur ayah Cinderella yang tengah berada di perjalanan menuju kota. Tuan Joe, ayah Cinderella seketika tewas di tempat. Tidak terselamatkan. Meninggalkan kesedihan dan penderitaan bagi anak tunggalnya, Cinderella.***
Kereta labu yang ditumpangi Cinderella pun bergetar. Seketika berubah wujud menjadi buah labu kecil dan kudanya menjadi tikus-tikus teman Cinderella di rumah. Bajunya yang indah juga telah berganti menjadi pakaian kumal yang penuh tambalan di sana sini. Sejak ayahnya meninggal, ia tidak lagi pernah membeli baju. Jika beruntung, baju lungsuran kedua saudara tirinya akan diberikan kepadanya. Seakan kehidupan tidak lagi milik Cinderella. Ia harus berjuang. Bekerja untuk makan dan harus berhenti sekolah.
Sedangkan di istana, pangeran kebingungan. Bingung dan gelisah menanti kabar tentang Cinderella. Seluruh prajurit dikerahkan untuk mencari gadis itu. Satu-satunya cara adalah dengan mencocokkan ukuran kaki setiap gadis dengan sepatu Cinderella yang tertinggal. Pengumuman pencarian sang puteri pun mulai menyeruak. Istana heboh. Rakyat pun heboh. Setiap gadis merasa paling berhak untuk menempati posisi puteri itu. Pencarian puteri pun akan dilaksanakan satu bulan lagi. Gadis-gadis mulai berusaha tampil secantik mungkin. Berharap keputusan pangeran untuk menikahi gadis yang kakinya cocok dengan sepatu itu belum bulat. Pengharapan berkembang menjadi mimpi. Mimpi menimbulkan ambisi dan strategi.
Hal ini jualah yang terjadi di rumah Cinderella. Nyonya Eli yang dikenal sangat pintar pun mulai mencari akal. Ia yang mengetahui bahwa Cinderella-lah puteri yang dicari mulai berusaha memutar otak mengelabui prajurit pangeran. Garis wajah gadis yang berdansa dengan pangeran di pesta itu sangat diingat oleh Nyonya Eli. Garis wajah yang sama dengan Cinderella. Nyonya Eli pun mulai mencari tahu ukuran kaki Cinderella. Mencocokkannya dengan ukuran kedua kaki anaknya. Tina, tidak cocok. Tini, tidak cocok. Masing-masing kaki masih belum sama dengan kaki milik Cinderella. Satu-satunya kaki yang memiliki sedikit kemiripan dengan ukuran kaki Cinderella adalah kaki Tini. Kaki Tini lebih besar sedikit dibanding dengan kaki Cinderella.
Hari pencarian puteri pun dilaksanakan. Setiap prajurit dikerahkan memasuki rumah-rumah penduduk yang memiliki anak perempuan. Hingga akhirnya sampailah di rumah Nyonya Eli. Prajurit mengetuk pintu. Nyonya Eli yang pintar pun mulai meminta satu syarat agar prajurit dapat mencocokkan kaki kedua anaknya dengan sepatu Cinderella. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah Tina dan Tini baru akan mencoba sepatu itu jika seluruh gadis di wilayah itu sudah mencoba sepatu itu. Akhirnya, dengan berat hati si prajurit meninggalkan rumah Nyonya Eli dan berjanji akan kembali setelah semua kaki gadis telah dicocokkan (dengan catatan jika gadis idaman pangeran belum ditemukan).
Sedangkan Cinderella saat itu hanya dikurung di dalam kamar. Ia tidak diperbolehkan keluar. Nyonya Eli telah memberinya obat tidur agar tidur selama 3 hari lamanya. Hingga hari kedua, prajurit pun kembali ke rumah Nyonya Eli. Gadis idaman pangeran belum ditemukan. Dengan senang hati Nyonya Eli menyuruh Tina mencoba sepatu itu. Namun ternyata sepatu itu lebih besar dibandingkan kakinya yang kecil. Beralih ke Tini. Dengan sedikit sulit ia memasukkan kakinya ke sepatu itu. Hingga... HORE!!! Sedikit berteriak Tini karena kegirangan. Kakinya cocok dengan sepatu ini, meskipun sedikit sempit. Di balik kerudungnya Nyonya Eli tersenyum sinis. Bodoh sekali prajurit ini, pikirnya. Tentu saja sepatu itu akan muat dengan kaki Tini. Bahannya terbuat dari kulit. Jika sering dicoba tentunya sepatu itu akan menjadi longgar dan akan muat kepada kaki yang lebih besar sedikit. Nyonya Eli masih senang dengan kepintarannya. Sedangkan Tini hanya tersenyum bahagia karena tidak menyangka sepatu ini akan muat dengan kakinya yang sedikit lebih besar dibanding kaki Cinderella.

Entri Populer